Gempuran konflik bagi Masyarakat Adat
Badan Pusat Statistik mencatat, ketimpangan penguasaan tanah saat ini mencapai angka 0,68 pada 2013. Artinya terdapat 1 persen orang yang menguasai 68 persen tanah di Indonesia. Mereka adalah pengusaha dan badan usaha swasta ataupun negara.
Ketimpangan penguasaan tanah ini mengakibatkan konflik agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2015-2022 terjadi 2.710 konflik agraria di 5,88 juta hektar tanah masyarakat.
Selain itu, sebanyak 1.934 orang dikriminalisasi, 814 orang mengalami kekerasan, 78 orang tertembak, dan 69 jiwa meninggal. AMAN juga mencatat bahwa telah terjadi 301 kasus terkait perampasan wilayah adat seluas 8,5 juta Ha selama 2019 hingga 2023.
Baca juga: Jawaban Mengejutkan Gibran Dalam Debat Cawapres, Sanitasi hingga Pasokan Air Bersih Perlu Kolaborasi
Persoalan ketimpangan tanah sejak puluhan tahun belum juga terselesaikan, diperparah dengan pendekatan pembangunan yang memindahkan secara paksa tanpa melalui proses musyawarah.
Sejatinya, pemerintah bisa memilih pendekatan pembangunan yang lebih humanis melalui free prior and informed consent (FPIC) atau asas persetujuan tanpa paksaan. Pendekatan ini dianggap efektif untuk melakukan pembangunan dengan bermusyawarah terlebih dahulu serta memenuhi hak-hak dasar masyarakat.
Tak hanya itu, penyelesaian polemik ketidakpastian kepemilikan lahan yang selama ini dianggap menghambat pembangunan di Indonesia bisa melalui regulasi. Perlu diperhatikan juga, hak-hak Masyarakat Adat yang tinggal di wilayah pembangunan.
Sayangnya, berdasarkan penelitian AMAN, berbagai produk hukum yang lahir justru melegalisasi agenda investasi dan pembangunan berskala besar, seperti UU No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara, UU Nomor 21 Tahun 2023 tentang Ibu Kota Negara, UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP, Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, dan beberapa produk hukum lainnya.