Fenomena ‘Burnout Sosial’, yang Banyak Dialami Oleh Anak Muda

By Jack

INVERSI.ID – Di era digital ini, interaksi sosial semakin intens dan hampir tidak ada jeda. Media sosial, grup chat, dan tuntutan untuk selalu ‘hadir’ dalam percakapan membuat banyak anak muda mengalami yang disebut dengan burnout sosial.

Fenomena ini bukan sekadar lelah biasa, tetapi kondisi di mana seseorang merasa kewalahan, kelelahan emosional, dan bahkan cenderung menarik diri dari interaksi sosial karena merasa terlalu banyak tekanan.

Burnout sosial terjadi ketika seseorang merasa terlalu banyak berinteraksi atau terlalu banyak tuntutan sosial hingga merasa drained secara mental. Ini berbeda dengan introvert yang memang cenderung lebih nyaman dengan sedikit interaksi. Burnout sosial bisa dialami oleh siapa saja, termasuk mereka yang ekstrovert sekalipun.

Banyak anak muda mengalami burnout sosial karena tekanan media sosial yang menciptakan ekspektasi tinggi terhadap kehidupan sosial mereka. Tuntutan untuk selalu update, terlihat bahagia, aktif, dan engaging bisa menjadi beban tersendiri.

Fear of Missing Out (FOMO) juga membuat seseorang merasa harus selalu terlibat dalam berbagai aktivitas sosial, meskipun sebenarnya mereka sudah lelah. Selain itu, ekspektasi untuk selalu responsif terhadap pesan instan juga menambah tekanan mental. Jika telat membalas chat atau tidak segera merespons, sering kali muncul perasaan bersalah atau bahkan dianggap tidak peduli. Hal ini menjadi tekanan konstan yang sulit dihindari.

Interaksi digital yang berlebihan juga menjadi faktor utama. Pandemi telah mengubah cara berkomunikasi, membuat banyak kegiatan berpindah ke ranah digital, mulai dari sekolah, pekerjaan, hingga pergaulan.
Zoom meeting, video call, dan grup WhatsApp yang ramai membuat otak terus-menerus bekerja, sehingga muncul kelelahan sosial.

Kurangnya ruang untuk menikmati waktu sendiri tanpa gangguan juga memperparah kondisi ini. Bahkan saat sedang sendiri, banyak orang masih merasa harus tetap ‘terhubung’ dengan dunia luar, baik melalui media sosial maupun aplikasi pesan instan.

Burnout sosial bisa menyebabkan dampak negatif yang cukup serius. Kualitas hubungan sosial bisa menurun karena seseorang merasa lelah dan jenuh dalam berinteraksi. Produktivitas juga bisa terdampak karena otak terus-menerus dipaksa untuk berinteraksi, bahkan saat sebenarnya membutuhkan istirahat. Dalam beberapa kasus, burnout sosial dapat memicu kecemasan sosial atau bahkan keinginan untuk mengisolasi diri sepenuhnya dari lingkungan sekitar.

Untuk mengatasi burnout sosial, penting untuk menetapkan batasan dalam penggunaan media digital. Tidak selalu harus membuka media sosial atau menjawab pesan dengan segera bisa menjadi langkah awal yang baik.

Mengurangi tekanan untuk selalu hadir dalam setiap percakapan dan lebih memilih interaksi yang berkualitas juga bisa membantu mengurangi rasa lelah sosial.

Selain itu, meluangkan waktu untuk diri sendiri tanpa merasa bersalah adalah hal yang sangat penting. Jika merasa terlalu lelah secara sosial, tidak ada salahnya untuk berkomunikasi dengan teman atau keluarga mengenai kondisi tersebut agar mereka juga memahami batasan yang dibutuhkan.

Burnout sosial bukan sekadar kelelahan karena banyak berinteraksi, tetapi kondisi yang bisa berdampak serius pada kesehatan mental. Anak muda saat ini menghadapi tekanan sosial yang besar, terutama dari dunia digital yang tak pernah berhenti.

Memahami batasan diri dan menjaga keseimbangan antara interaksi sosial dan waktu pribadi adalah kunci untuk menghindari burnout sosial. Tidak apa-apa untuk sesekali offline dan mengambil jeda, kesehatan mental jauh lebih penting daripada sekadar selalu ‘hadir’ di dunia maya.***

Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *