Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan bahwa tantangan dunia ke depan akan semakin berat. Tantangan tersebut dipicu oleh ketidakpastian akibat ketegangan geopolitik regional, disrupsi teknologi, dan perubahan lingkungan akibat perubahan iklim.
Dampak dari hal tersebut dapat menyebabkan negara mengalami krisis. Oleh karena itu, perjalanan berbangsa dan bernegara ke depan harus dikawal dengan tekad bersama yang kuat.
Penegasan ini disampaikan Ketua DPD RI saat memberikan pidato utama dalam Focus Group Discussion yang diadakan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Jawa Timur di Kantor PW Muhammadiyah Jawa Timur, Surabaya, Senin, 15 Juli 2024.
LaNyalla menyatakan bahwa tekad bersama hanya bisa dirajut melalui saluran dan sarana yang memberikan ruang kedaulatan kepada rakyat, sebagai pemilik negara ini.
Dalam sebuah ikatan yang mampu menyatukan, memberikan keadilan, dan menjawab tantangan masa depan melalui jati diri bangsa ini.
Baca Juga: Sidang Paripurna, LaNyalla Ungkap Kriteria Jadi Pemimpin DPD RI
“Itulah mengapa MPR harus kembali menjadi Lembaga Tertinggi Negara, yang diisi bukan saja oleh mereka yang dipilih melalui Pemilu Legislatif, tetapi juga mereka-meraka yang diutus dari bawah, yang meliputi semua elemen bangsa ini, tanpa ada yang ditinggalkan,” kata Ketua DPD RI.
“Sehingga benar-benar terwujud penjelmaan rakyat dan para hikmat, yang menentukan Arah Perjalanan Bangsa dengan satu tolok ukur mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” lanjutnya.
Menurutnya, sistem bernegara hasil Amandemen Konstitusi tahun 1999 hingga 2002 telah menghasilkan sistem politik yang mahal. Sistem politik yang mahal tersebut menghasilkan ‘high-class economy’, atau dengan kata lain, oligarki ekonomi untuk membiayai sistem politik yang mahal.
Oligarki kemudian mendikte kebijakan dan sistem politik.
“Akibatnya, bangsa kita lambat laun menjadi bangsa lain. Akar budaya dan watak bangsa Indonesia perlahan tercerabut. Dari bangsa yang integralistik, gotong-royong dan spiritualistik-patriotis, menjadi bangsa yang individualistik, kapitalistik dan materialistik-pragmatis. Sehingga dalam dua dekade Reformasi, indikator ketidakadilan dalam wujud kesenjangan ekonomi dan sosial semakin tinggi,” imbuhnya.
Secara teori, lanjutnya, kesenjangan dan ketidakadilan terhadap penguasaan ekonomi, tanah, alat produksi, akses pendidikan, dan kesehatan telah menghasilkan kemiskinan struktural yang sulit diselesaikan.
Baca Juga: Wacana Pembatasan BBM Subsidi, LaNyalla Singgung Tata Kelola Distribusi harus Diperbaiki
Jika solusi yang ditempuh hanya melalui subsidi dan bantuan sosial, maka akan terus menjadi beban fiskal negara, yang pada suatu titik akan mengalami krisis fiskal.
“Oleh karena itu harus ada jalan keluar. Agar pemerintah dapat terus membangun dan berdaulat, melalui dukungan rakyat yang kuat. Dan dukungan rakyat yang kuat harus diwujudkan melalui sistem yang kembali kepada nilai-nilai Pancasila. Yang membangun semangat kebersamaan, sesuai pikiran-pikiran para pendiri bangsa,” pungkasnya.