Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Barat Adi Gemawan mengungkapkan beberapa poin penting dalam optimalisasi penggunaan dana desa dalam pemberdayaan masyarakat. Sebagian besar hasil temuan dalam pengawasan program penggunaan dana desa ini masih seputar pelanggaran administrasi.
Hal ini menjadi poin dalam pemaparan Kaper BPKP Provinsi Jawa Barat Adi Gemawan pada acara Workshop Evaluasi Pengelolaan Keuangan dan Pembangunan Desa Tahun 2024 pada Pemerintah Kabupaten Cirebon.
Dalam presentasi pada workshop bertema “Pengelolaan Keuangan Desa yang Akuntabel dalam Rangka Percepatan Transportasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan” Kepala Perwakilan BPKP Jawa Barat Adi Gemawan setidaknya menyebut empat hal penting yang menjadi temuan dalam hasil pengawasan BPKP dalam program dana desa tersebut.
Adi membungkus empat hal penting itu sebagai kendala dalam perencanaan, penatausahaan dan pelaporan yang masih butuh perbaikan sesuai aturan.
Pertama, masih ada pelaksanaan kegiatan kerja yang tidak tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMdes). Pihaknya berperan aktif dalam melakukan pengawasan sebelum terjadi kesalahan dalam program Dana Desa yang melibatkan seluruh aparatur desa.
Kedua, belanja yang tidak sesuai dengan output dalam perencanaan. Sehingga dalam pengawasan hal tersebut dianggap tidak efektif dalam penggunaan dana desa. Mantan Kepala Kantor Perwakilan BPKP Yogyakarta ini mencontohkan pengerjaan proyek pembangunan gorong-gorong di desa, akan tetapi dalam pelaksanaan ada temuan pemberian honor terhadap PPK.
“Ini yang tidak nyambung, pemberian honor pada PPK. Pelatihan yang ada perjalanan dinasnya misalnya itu harus nyambung juga,” ujar Adi Gemawan, Kamis (18/7/2024).
Baca juga: Jokowi Minta BPKP Audit PDN Usai Diretas Hacker
Adi melanjutkan poin ketiga yang menjadi temuan adalah penggunaan dana desa secara pribadi. Kemudian permasalahan belum setor pajak, dan yang keempat pekerjaan yang tidak ada kontrak.
Pada poin ini, Adi menyebutkan administrasi memang butuh kecepatan. Akan tetapi, jika dalam pelaksanaan di lapangan menemukan kendala, bukan berarti kaku alias tidak bisa fleksibel.
Ia memahami situasi lapangan terkadang berbeda, misalkan saat membuat surat perjanjian banyak ketidakcocokan waktu antara kedua belah pihak. Sementara jadwal pelaksanaan kerja harus sudah berlangsung sehingga sifatnya pengerjaan harus segera mulai.
Hal seperti ini, bisa saja dilakukan dengan cara pembuatan surat perjanjian menyusul, akan tetapi petugas administrasi dengan cepat menyusul proses perjanjian tersebut.
“Tolong administrasi kejar, sebelum aparat lain masuk sehingga menimbulkan risiko,” ujarnya.