INVERSI.ID – Sejumlah siswi di salah satu SMA di Cianjur diminta untuk menjalani tes urine guna memeriksa kehamilan oleh pihak sekolah. Kebijakan ini menuai kritik karena dinilai diskriminatif dan berpotensi memberikan dampak buruk pada kondisi mental para siswi.
Menanggapi hal tersebut, Komisi V DPRD Jawa Barat berencana memanggil kepala sekolah yang menginisiasi kebijakan tersebut. Tes kehamilan ini diketahui dilakukan di SMA Sulthan Baruna, Kecamatan Cikadu, Kabupaten Cianjur.
“Komisi V akan meminta klarifikasi langsung dari kepala sekolah terkait insiden ini,” ujar Anggota Komisi V DPRD Jabar, Zaini Shofari, pada Jumat (24/1/2025).
Sebagai Ketua Fraksi PPP DPRD Jawa Barat, Zaini menyoroti bahwa kebijakan ini telah menjadi perhatian publik. Ia khawatir langkah tersebut tidak hanya tidak efektif, tetapi juga bisa dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap siswi.
“Apakah langkah ini benar-benar memberikan solusi atau malah menimbulkan diskriminasi? Karena perempuan memiliki hak atas kesehatan reproduksi, dan hal seperti kehamilan, menyusui, serta menstruasi adalah sesuatu yang alami,” jelasnya.
Zaini juga mengomentari klaim bahwa kebijakan ini telah disetujui oleh para orang tua. Namun, pada kenyataannya, tidak semua wali murid mengetahui tentang tes kehamilan ini.
Ia menegaskan bahwa selain dinilai diskriminatif, kebijakan tersebut dapat memicu tekanan psikologis bagi para siswi. Ia mengusulkan agar sekolah lebih mengutamakan pendekatan edukatif daripada kebijakan yang mengarah pada penghakiman.
“Sebaiknya sekolah fokus pada edukasi mengenai kesehatan reproduksi. Dengan begitu, siswa bisa memahami hal ini secara mendalam melalui metode edukasi visual dan diskusi yang tepat,” tambahnya.
Sebelumnya, beredar sebuah video di media sosial yang menunjukkan puluhan siswi mengantre untuk menjalani tes urine sebagai bagian dari pemeriksaan kehamilan. Proses ini dilakukan dengan pengawasan guru perempuan, di mana setiap siswi masuk ke toilet secara bergiliran untuk menggunakan alat tes kehamilan.
Sarman, Kepala SMA Sulthan Baruna, mengungkapkan bahwa kebijakan ini bermula dari kejadian tiga tahun lalu ketika seorang siswi harus berhenti sekolah karena hamil.
“Saat itu, orang tua siswa datang dan melaporkan bahwa anaknya hamil. Setelah libur semester, siswa tersebut memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah,” jelasnya.
Dari pengalaman tersebut, pihak sekolah memutuskan untuk menerapkan tes kehamilan setiap kali kegiatan belajar mengajar dimulai setelah libur semester.
“Setiap selesai libur semester, kami mengadakan tes urine untuk mengetahui apakah ada siswi yang hamil. Kebijakan ini sudah berjalan selama dua tahun terakhir, yaitu dilakukan dua kali dalam setahun,” lanjutnya.
Ia juga menegaskan bahwa pelaksanaan tes tersebut dilakukan secara tertutup oleh guru perempuan.
“Biasanya, prosesnya bersifat tertutup. Namun, kemungkinan kemarin ada guru yang tidak sengaja merekam dan mengunggahnya di media sosial,” katanya.***