Generasi Muda Meninggalkan Pertanian, Ancaman Krisis Pangan di Depan Mata?

By Jack

INVERSI.ID – Fenomena menjauhnya anak muda dari sektor pertanian kini menjadi masalah global, bukan hanya di Indonesia. Aktivis LSM Yayasan Alit sekaligus pengusaha bunga asal Surabaya, Yuliati Umrah, menyampaikan keprihatinannya setelah berinteraksi dengan para akademisi di Eropa yang memiliki kekhawatiran serupa.

Menurut Yuliati, semakin tinggi pendidikan formal seseorang, semakin jauh mereka dari keterampilan hidup, termasuk dalam mengolah sumber daya alam. Profesi seperti petani, nelayan, tukang kayu, dan tukang bangunan semakin langka.

Generasi tua yang menguasai keahlian ini mulai meninggal dunia, sementara generasi muda lebih tertarik pada pekerjaan yang tampak modern, seperti di industri finansial, teknologi, atau media digital.

“Di berbagai negara, anak muda lebih memilih pekerjaan di depan laptop atau kamera canggih daripada mengolah lahan atau menjadi pengrajin. Akibatnya, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian dan perikanan terus berkurang,” ungkap Yuliati.

Tren ini terlihat di banyak negara. Di Rumania, ladang dan gudang panen dibiarkan terbengkalai karena minimnya tenaga kerja muda. Di Jepang, rumah tradisional dan kebun-kebun kosong karena generasi mudanya lebih memilih merantau ke kota besar atau ke luar negeri.

Sementara itu, Belanda mengalami krisis tukang bangunan, menyebabkan biaya renovasi rumah meningkat pesat, dan stok petani sayur serta bunga terus menyusut.

Di Afrika Barat, anak muda menganggap kesuksesan hanya bisa diraih di sektor keuangan dan teknologi, sementara pertanian, peternakan, dan perikanan dianggap pekerjaan kelas dua.

“Dalam 20 tahun ke depan, jika tren ini berlanjut, keterampilan dalam mengolah sumber daya alam akan semakin hilang. Dunia bisa menghadapi krisis pangan dan lingkungan yang serius,” tambahnya.

Menyadarkan Anak Muda akan Potensi Besar di Sektor Pertanian

Sekembalinya dari perjalanannya, Yuliati menggelar diskusi dengan sepuluh mahasiswa dari tiga universitas ternama di Surabaya. Ia menantang mereka untuk mengecek harga komoditas pertanian seperti vanili, kayu manis, cengkeh, kakao, dan kopi di pasar global. Hasilnya mengejutkan, harga di Amazon dan pasar internasional jauh lebih tinggi dibanding harga lokal yang selama ini mereka ketahui.

Momen ini membuka mata para mahasiswa bahwa sektor pertanian memiliki peluang bisnis yang besar. Yuliati pun mendorong mereka untuk mulai berbisnis dengan konsep perdagangan yang adil, menghubungkan petani lokal dengan pasar internasional tanpa perantara yang merugikan.

“Jangan hanya jadi pekerja di industri! Dalam waktu dekat, banyak pekerjaan bisa digantikan AI. Kalian hanya akan bertahan jika menguasai sumber pangan dan obat-obatan. Dari situ, kalian punya nilai tawar yang lebih kuat,” tegasnya.

Sebagai langkah awal, para mahasiswa kini mulai terlibat langsung dalam pengelolaan kebun-kebun binaan Yayasan Alit di berbagai daerah seperti Bromo, Tampak Siring, Pandaan, Sumenep, Jember, Sikka, dan Banyuwangi.

“Ketika kalian sukses menjual sekilo vanili atau kayu manis dari kebun sendiri, pasti kalian akan sadar betapa berharganya lahan itu. Pertanian bukanlah pekerjaan rendahan, justru ini adalah kunci ketahanan hidup di masa depan. Jadilah petani, peternak, nelayan, atau tukang yang cerdas dan inovatif,” pungkas Yuliati.***

Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *