INVERSI.ID – Helena Lim seorang pengusaha terkemuka dari Pantai Indah Kapuk (PIK), menghadapi pertanyaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengenai tindakannya memusnahkan bukti transaksi yang dilakukan dengan Harvey Moeis dalam PT Quantum Skyline Exchange (QSE).
Kasus ini melibatkan kelima perusahaan smelter ilegal, yaitu PT RBT, PT SIP, PT TIN, PT SBS, dan PT VIP.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 10 Oktober 2024, Helena mengonfirmasi bahwa ia memang telah memusnahkan beberapa bukti transaksi. Namun, ia berdalih bahwa tindakan tersebut tidak dilakukan secara sengaja.
“Bukan sengaja memusnahkan, saat penggeledahan itu juga saya di luar negeri dan penyidik juga mendapatkan data-data di dalam kantor saya Yang Mulia, maksud saya memusnahkan itu seperti cek saldo, kalau sudah benar, itu saldonya pasti saya buang yang saya catat-catat sendiri Yang Mulia, yang transaksi hari ini kira-kira berapa-berapa itu itu saya buang Yang Mulia, itu maksud saya Yang Mulia,” ungkap Helena.
Helena Lim Memusnahkan Bukti Transfer ke Harvey Moeis
Jaksa kemudian membaca Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menunjukkan bahwa Helena telah mengakui memusnahkan bukti transaksi untuk setiap kegiatan yang melibatkan Harvey Moeis.
Helena menjelaskan bahwa alasannya melakukan hal itu adalah untuk menghindari penemuan transaksi tersebut oleh Bank Indonesia saat audit.
Saat ditanya lebih lanjut oleh jaksa, Helena kembali menegaskan bahwa ia tidak bermaksud menghilangkan bukti penting.
Baca Juga: Sandra Dewi Tolak Cicin Kawin Disita, Ini Alasannya
Namun, hakim memotong penjelasannya dan meminta konfirmasi atas isi BAP yang telah dibacakan. Helena mengonfirmasi bahwa informasi dalam BAP tersebut adalah benar.
Helena berperan sebagai Beneficial Owner dan Manager Marketing di PT Quantum Skyline Exchange, di mana ia diduga membantu Harvey Moeis dalam menukar dana yang berasal dari tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kegiatan komoditas timah antara tahun 2015 hingga 2022.
Jaksa menyebutkan bahwa kerugian negara akibat praktik ilegal ini mencapai lebih dari Rp300 triliun.