Di antara detik yang berdetak,
Kulihat bayang masa silam merayap,
Setiap langkah menyimpan cerita,
Setiap nafas mengukir makna.
Dalam riuh kehidupan kota,
Ada tangis, ada tawa bersama,
Kadang kita jatuh tersungkur,
Tapi selalu ada tangan yang mengulur.
Waktu tak pernah menunggu,
Seperti ombak yang terus berderu,
Membawa pergi yang telah berlalu,
Menyisakan kenangan dalam kalbu.
Maka berjalanlah dengan pasti,
Biar waktu menjadi saksi,
Bahwa hidup ini tak selalu tentang menang,
Tapi tentang bagaimana kita bangkit dan menang.
Cerita di Balik Puisi:
Puisi “Jejak Waktu” ini lahir dari pengalaman pribadi seorang penulis bernama Pak Ahmad, seorang guru tua yang telah mengajar selama 35 tahun di sebuah sekolah pinggiran kota. Suatu hari, saat membereskan ruang kerjanya untuk persiapan pensiun, dia menemukan sebuah album foto lama.
Di dalam album itu, tersimpan foto-foto murid-muridnya dari berbagai generasi. Ada yang kini sudah menjadi dokter, insinyur, bahkan ada yang telah menjadi walikota. Tapi ada juga foto-foto mereka yang telah pergi terlalu cepat, meninggalkan dunia di usia muda.
Setiap foto membawa ceritanya sendiri. Ada kisah tentang murid yang dulunya nakal tapi kini menjadi pengusaha sukses yang dermawan. Ada cerita tentang anak yatim piatu yang berjuang keras hingga bisa kuliah dengan beasiswa. Semua kenangan itu mengalir dalam benaknya.
Pak Ahmad teringat bagaimana dia pernah hampir menyerah di tahun-tahun awal mengajar karena kesulitan ekonomi. Namun, cinta dan dukungan dari murid-muridnya selalu memberinya kekuatan untuk bertahan. Mereka sering membawakan makanan dari rumah, atau sekadar memberikan kartu ucapan sederhana yang hingga kini masih dia simpan.
Malam itu, dengan mata berkaca-kaca, dia menuliskan puisi ini. Setiap baitnya mewakili perjalanan hidupnya sebagai tenaga pendidik – tentang bagaimana waktu mengubah segala sesuatu, tentang jatuh bangun dalam menjalani hidup, dan tentang makna sejati dari sebuah perjalanan.
Bait pertama berbicara tentang refleksi dan introspeksi. Bait kedua menggambarkan dinamika kehidupan dengan segala suka dukanya. Bait ketiga adalah pengakuan akan sifat waktu yang terus berjalan. Dan bait terakhir adalah kesimpulan dari semua pembelajaran hidup yang dia dapatkan.
Puisi ini kemudian dia bacakan pada acara reubi sekolah sekaligus perpisahannya di sekolah. Banyak mantan murid yang hadir saat itu menangis terharu, karena mereka bisa merasakan ketulusan dan kedalaman makna dari setiap kata yang tertulis. Puisi ini menjadi pengingat bahwa hidup bukan sekadar tentang mencapai tujuan, tapi tentang makna yang kita tinggalkan di setiap langkah perjalanan.