INVERSI.ID – Pemerintah Kota Samarinda baru-baru ini mengeluarkan surat edaran yang melarang pelajar SMP dan SMA sederajat yang belum berusia 17 tahun serta tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) untuk membawa kendaraan bermotor ke sekolah.
Larangan ini didasarkan pada Surat Edaran Nomor 500.11.1/021/100.05 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), terutama Pasal 81 ayat (2) huruf a, yang menyatakan bahwa individu di bawah usia 17 tahun tidak boleh memiliki SIM C untuk kendaraan roda dua.
Pemkot Samarinda menegaskan, kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi kemacetan dan menekan angka kecelakaan lalu lintas yang mayoritas melibatkan pelajar usia produktif.
Namun, Syaiful Bachtiar, selaku pengamat kebijakan publik dari Universitas Mulawarman, mengingatkan bahwa kebijakan semacam ini memerlukan solusi pendukung. Ia menyarankan agar pemerintah menyediakan angkutan umum khusus pelajar sebagai alternatif.
“Banyak pelajar membawa motor karena orang tua mereka sibuk bekerja dan nggak bisa mengantar ke sekolah. Jadi, kalau larangan ini diterapkan, pemerintah perlu kasih solusi yang konkret, seperti transportasi umum untuk pelajar,” kata Syaiful pada Senin (13/01/2025).
Syaiful juga mempertanyakan seberapa efektif larangan ini dalam mengatasi masalah kemacetan dan kecelakaan lalu lintas. Ia menyarankan pemerintah untuk tidak hanya fokus pada larangan, tetapi juga mencari pendekatan lain yang lebih solutif dan ramah pelajar.
“Apakah melarang anak-anak membawa kendaraan ke sekolah adalah langkah terakhir? Atau ada opsi lain yang lebih kreatif dan relevan?” ungkapnya.
Untuk mendukung kebijakan ini, Syaiful menyarankan adanya kolaborasi antara pemerintah kota dan provinsi. Penyediaan angkutan umum untuk pelajar bisa menjadi langkah jangka panjang yang tidak hanya membantu pelajar, tetapi juga mengurangi beban jalan raya.
“Anggaran bisa dibagi antara pemkot dan pemprov untuk menyediakan transportasi umum khusus pelajar. Ini nggak cuma solusi jangka pendek, tapi juga bisa mendukung mobilitas pelajar secara berkelanjutan,” tambahnya.
Dengan adanya larangan ini, Syaiful berharap pemerintah segera mencari solusi yang tidak hanya membebankan pelajar dan orang tua, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi semua pihak.
“Yang penting, kebijakan ini nggak cuma jadi larangan tanpa solusi. Harus ada langkah yang bikin pelajar tetap nyaman dan nggak terganggu aktivitas belajarnya,” tutupnya.
Langkah Pemkot Samarinda ini bisa jadi awal perubahan besar, tapi tetap butuh komitmen untuk menyediakan fasilitas pendukung agar kebijakan ini benar-benar efektif dan tidak menimbulkan masalah baru. Semoga ke depannya pelajar bisa lebih mudah dan aman beraktivitas tanpa harus bergantung pada kendaraan pribadi.***