INVERSI.ID – Sebuah penelitian dari Health Collaborative Center (HCC) mengungkap fakta mengejutkan bahwa 34 persen siswa SMA di DKI Jakarta punya masalah kesehatan mental. Yang bikin miris, cuma 4 dari 10 anak yang benar-benar dapat akses pengobatan yang memadai.
Kebanyakan remaja yang punya masalah mental ternyata lebih nyaman curhat ke teman sebaya ketimbang guru BK. Alasannya? Mereka takut privasi mereka gak aman dan gak mau dicap buruk.
“Seolah-olah sudah ada keyakinan bila bercerita ke guru BK, ‘oh ini anak nakal’, ‘oh ini si pembuat masalah,'” ujar peneliti utama, Dr dr Ray Wagiu dalam temu media, beberapa waktu lalu.
Penelitian ini juga menemukan bahwa lebih dari 20 persen remaja yang punya masalah mental merasa kesepian. Faktor-faktornya macem-macem, mulai dari konflik sama teman, kurangnya hubungan akrab, sampai kebiasaan terlalu sering main gadget atau scroll media sosial.
Hal ini juga diamini oleh mantan Menteri Kesehatan RI, Prof. Nila Moeloek. Menurutnya, media sosial punya dampak negatif yang besar terhadap kesehatan mental anak dan remaja.
“Dulu, ada kebiasaan setiap makan bersama keluarga, selalu menceritakan kejadian atau aktivitas dalam satu hari dengan orang tua. Namun, sekarang, itu semua hilang. Anak-anak di meja makan pun semua sibuk main handphone,” ungkap Prof Nila.
Prof Nila juga bilang, kebiasaan ini bikin anak-anak jadi lebih sering merasa sendirian karena mereka lebih banyak berinteraksi sama layar gadget daripada sama orang sekitar.
Perlu Aturan Buat Media Sosial
Prof. Nila juga ngasih contoh kebijakan di Belanda, di mana anak-anak di bawah usia tertentu gak boleh pakai gadget. Menurutnya, Indonesia perlu punya aturan kayak gitu buat mengurangi efek negatif media sosial.
Kata Dr. Ray Wagiu tren kesepian ini gak cuma terjadi di negara maju, tapi juga di Indonesia. Bahkan, 60 persen orang dewasa di Indonesia merasa kesepian meskipun lagi di tempat umum.
“Kebanyakan tetap menghabiskan waktu di media sosial. Sulit untuk benar-benar terlepas dari gadget, meski sedang berinteraksi dengan orang lain,” ujarnya.
Buat anak-anak, kesepian ini bisa lebih parah. Padahal, masa-masa remaja itu harusnya jadi waktu paling aktif buat bersosialisasi.
“Kesepian pada anak bisa lebih parah karena di masa aktifnya, mereka tidak menemukan interaksi yang memadai, baik di tempat bermain maupun di rumah,” pungkas Dr Ray.
Para ahli sepakat, solusi buat masalah kesehatan mental remaja ini perlu kerja sama antara keluarga, sekolah, dan pemerintah.
Orang tua diharapkan lebih peduli sama kondisi anak mereka, sementara sekolah harus menciptakan lingkungan yang mendukung dan bebas dari stigma, khususnya soal layanan konseling.
Selain itu, pembatasan penggunaan gadget dan media sosial juga penting supaya anak-anak bisa punya interaksi sosial yang lebih sehat. Yuk, mulai peduli sama diri sendiri dan teman-teman kita!***