Deretan Kontroversi Tapera, Penyesalan Menteri PUPR hingga Panen Penolakan Sejumlah Pihak

By DP
5 Min Read
Saat kontroversi Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) mencuat, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengakui penyesalan dan keterkejutannya atas reaksi masyarakat dan berbagai pihak terhadap program ini. (Foto: Pixabay)

Saat kontroversi Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) mencuat, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengakui penyesalan dan keterkejutannya atas reaksi masyarakat dan berbagai pihak terhadap program ini.

Penolakan terhadap kebijakan Tapera terus berlanjut sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 pada 20 Mei 2024, yang mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera.

Dalam kebijakan tersebut, semua pegawai, baik PNS, swasta, BUMN, BUMD, BUMDes, TNI/Polri, maupun pekerja mandiri diwajibkan ikut serta. Iuran sebesar 3 persen dari gaji akan ditanggung oleh pekerja (2,5 persen) dan perusahaan (0,5 persen). Kebijakan ini harus diterapkan paling lambat tahun 2027 setelah pemberi kerja mendaftarkan seluruh pegawai sebagai peserta.

- Advertisement -

Bukan hanya pekerja yang menolak, pengusaha juga keberatan. Beban iuran tambahan ini dinilai memberatkan karena mereka juga harus menanggung pajak penghasilan, jaminan kesehatan, dan jaminan ketenagakerjaan.

Baca Juga: Polemik Tapera, Irine Yusiana: Subsidi dari Negara bukan dari Rakyat

Selain itu, tidak semua pekerja bisa menerima manfaat pembiayaan perumahan. Persyaratan pembiayaan Tapera hanya untuk pekerja berpenghasilan rendah dengan gaji maksimal Rp8 juta per bulan dan belum memiliki rumah.

Peserta Tapera yang tidak termasuk golongan berpenghasilan rendah dan sudah memiliki rumah bisa mendapatkan pembiayaan renovasi rumah atau pengembalian simpanan pokok beserta hasil pengembangannya setelah masa kepesertaan berakhir.

PP 21 mengatur bahwa beban iuran Tapera untuk ASN atau pekerja yang gajinya bersumber dari APBN/APBD akan diatur oleh Menkeu bersama Men-PAN dan RB, sementara regulasi untuk pekerja swasta, BUMN/BUMD/BUMDes diatur oleh Mennaker, dan pekerja mandiri oleh BP Tapera.

Dilansir dari Antara, pemerintah sebenarnya sudah memiliki program subsidi perumahan, yaitu Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), yang dananya berasal dari APBN untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah mencicil rumah dengan suku bunga tetap 5 persen per tahun selama 20 tahun.

Baca Juga: Kontroversi Tapera, DPR: Mencekik Pekerja Mandiri

Pada 2023, FLPP disalurkan kepada 229.000 unit rumah, terdiri dari 228.914 rumah tapak senilai Rp26,31 triliun dan 86 rumah susun senilai Rp11,94 miliar. APBN untuk FLPP 2023 mencapai Rp26,32 triliun. Target FLPP 2024 turun menjadi 166.000 unit rumah senilai Rp21,6 triliun.

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023, terdapat 26 juta orang yang rumahnya tidak layak huni.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, pemerintah menghadirkan skema pembiayaan baru melalui iuran Tapera, yang diharapkan dapat menekan angka backlog perumahan yang masih tinggi.

Namun, kebijakan Tapera dinilai masih perlu dikaji ulang dengan melibatkan masyarakat atau para pemangku kepentingan yang terdampak.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat bahwa beban pungutan yang ditanggung pemberi kerja saat ini berkisar antara 18,24 hingga 19,74 persen, termasuk jaminan sosial ketenagakerjaan seperti jaminan hari tua (3,7 persen), jaminan kematian (0,3 persen), jaminan kecelakaan kerja (0,24-1,74 persen), dan jaminan pensiun (2 persen).

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyatakan bahwa iuran Tapera belum tentu efektif mengatasi kekurangan perumahan di Indonesia. Celios mengusulkan agar pemerintah merevisi PP 21/2024 karena berpotensi menurunkan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp1,21 triliun dan menyebabkan hilangnya 466,83 ribu pekerjaan.

Leave a comment