INVERSI.ID– Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengusulkan agar pemerintah melakukan kajian lebih mendalam terkait rencana penerapan bauran biodiesel B50 sebelum memutuskan implementasi penuhnya.
Ketua Bidang Kampanye Positif Gapki, Edi Suhardi menegaskan bahwa penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan banyak aspek sebelum menerapkannya. Termasuk kesiapan industri sawit nasional, dampak pada pasar ekspor, serta potensi penghematan devisa dari penurunan impor bahan bakar minyak.
Baca juga: OJK Tingkatkan Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah Bagi Santri di Daerah
“Oleh karena itu, untuk program B50 ini, kami memohon kepada pemerintah untuk mengkaji kembali, dan juga melihat kesiapan dan kecukupan bahan baku,” kata Edi dalam diskusi publik yang digelar oleh Indef di Jakarta, seperti dikutip dari ANTARA, Kamis (24/10).
Edi menekankan bahwa kebijakan bauran biodiesel harus diterapkan dengan hati-hati agar tidak mempengaruhi rantai pasok sawit maupun ekspor. Ia mencontohkan gejolak pasar yang pernah terjadi akibat kebijakan pembatasan ekspor bahan baku dan minyak goreng, yang menjadi pelajaran bagi penerapan kebijakan baru ini.
Saat ini, Indonesia sudah menerapkan biodiesel B35 dan berencana untuk meningkatkan bauran menjadi B40 pada 2025. Pemerintah juga sedang mempersiapkan untuk penerapan B50, yaitu bahan bakar dengan 50% minyak sawit dan 50% solar.
Baca juga: BCA Syariah Gandeng Henan Sekuritas Tingkatkan Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah
Menanggapi hal tersebut, Muhammad Fauzan Ridha, Ketua Tim Kerja Pemasaran Internasional Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian mengatakan bahwa kajian terhadap penerapan B50 masih berlangsung. Kajian ini mencakup aspek supply and demand, kajian ekonomi, kelembagaan, pembiayaan, dan kesiapan sarana prasarana.
“Sejauh ini kajian masih berlangsung terutama mengenai aspek supply and demand, kajian ekonomi, kajian kelembagaan, pembiayaan, dan sarana prasarananya,” kata Fauzan.