INVERSI.ID – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 diperkirakan akan melibatkan “kotak kosong” di beberapa daerah dengan calon tunggal. Apakah ini mencerminkan menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan melaksanakan pemilihan ulang jika “kotak kosong” memperoleh suara mayoritas. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.
Dalam Pasal 54D ayat 3 UU 10/2016 disebutkan bahwa KPU wajib menggelar pemilu ulang. Hingga saat ini, jadwal pelaksanaan pemilu ulang belum ditentukan oleh KPU, dan mereka masih perlu berdiskusi dengan DPR untuk menentukan hal ini.
Pasal 54D ayat (3) UU 10/2016 mengatur dua opsi terkait waktu pelaksanaan pemilu ulang: pertama, pada tahun berikutnya, dan kedua, mengikuti jadwal Pilkada serentak yang dilaksanakan setiap lima tahun, yaitu pada tahun 2029.
Idham Holik, Ketua Divisi Teknis KPU RI, menyatakan bahwa pemilu ulang pada tahun 2025 dapat memberikan kesempatan bagi daerah untuk memiliki kepala daerah yang definitif tanpa menunggu terlalu lama, yang sesuai dengan tujuan diadakannya Pilkada.
Sebelumnya, KPU mengumumkan bahwa hingga 31 Agustus 2024, terdapat 43 daerah dengan pasangan calon tunggal, sehingga mereka berpotensi menghadapi “kotak kosong”. KPU juga memperpanjang masa pendaftaran bakal calon kepala daerah di 43 daerah ini pada 2-4 September 2024, untuk memberi kesempatan munculnya calon baru.
Baca Juga: Jelang Pilkada, Polres Fakfak Bongkar 6 Kasus Judi Online
Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perludem, mengatakan bahwa jika tidak ada partai politik yang mengubah dukungannya selama masa perpanjangan, Pilkada kali ini akan mencatat rekor jumlah “kotak kosong” terbanyak dalam sejarah demokrasi Indonesia.
Saat ini, Papua Barat menjadi salah satu daerah yang berpotensi menjalani pemilihan gubernur melawan “kotak kosong”. Di tingkat kabupaten/kota, ada 42 daerah yang mengalami fenomena serupa.
Contoh di Provinsi Sumatra Utara meliputi Tapanuli Tengah, Asahan, Pakpak Bharat, Serdang Berdagai, Labuhanbatu Utara, dan Nias Utara. Sementara di Jawa Timur, fenomena ini berpotensi terjadi di Kota Surabaya, Trenggalek, Ngawi, Gresik, dan Pasuruan, di mana calon tunggal di lima daerah tersebut didukung oleh koalisi besar yang terdiri dari delapan hingga 18 partai politik.