INVERSI.ID – Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa tidak ada unsur politisasi dalam penetapan mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait import gula pada periode 2015-2023.
Penjelasan soal penetapan mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait importasi gula pada periode 2015-2023, ini disampaikan langsung oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, pada Selasa, 29 Oktober 2024.
Abdul Qohar menekankan bahwa proses penyidikan yang dilakukan sepenuhnya berlandaskan pada bukti-bukti hukum.
“Tidak terkecuali siapa pun pelakunya. Ketika ditemukan bukti yang cukup, maka penyidik pasti akan menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka,” ujar Qohar.
Baca Juga: Program Makan Siang Gratis Mulai Dibahas Jokowi di Istana, Tom Lembong: Sebaiknya Lewat Diskusi
Dilansir dari Antara, Kejagung menyebut bahwa penyidikan kasus ini telah dimulai sejak Oktober 2023 dan berjalan dengan pemeriksaan mendalam selama satu tahun.
Hingga kini, sekitar 90 saksi telah diperiksa, dan berbagai alat bukti termasuk catatan, dokumen, dan keterangan dari para ahli telah dikumpulkan.
Hal ini, menurut Kejagung, menjadi alasan utama mengapa proses penyidikan kasus ini memerlukan waktu panjang.
“Kami juga telah meminta perhitungan kerugian negara yang tentunya tidak mudah. Kasus ini memang kompleks, tidak seperti perkara biasa,” kata Qohar.
Menurut keterangan Kejagung, keterlibatan Tom Lembong bermula pada tahun 2015 saat Indonesia dinyatakan mengalami surplus gula dalam rapat koordinasi antar-kementerian.
Saat itu, seharusnya tidak ada kebutuhan untuk mengimpor gula. Namun, Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan kala itu malah memberikan izin impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP.
Padahal, berdasarkan regulasi, importasi gula kristal mentah hanya diperbolehkan bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Izin impor yang dikeluarkan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian ini diduga tidak melalui koordinasi yang seharusnya melibatkan instansi terkait untuk memastikan kebutuhan riil gula di dalam negeri.