Gus Yahya Larang Identitas NU Jadi Modal Politik

By Anisa
3 Min Read
Ketum PBNU Gus Yahya Larang Identitas NU Jadi Modal Politik (Foto: Instagram/@gusyahyastaqut)

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya melarang identitas NU digunakan sebagai modal politik.

Hal itu karena Gus Yahya memandang bahwa politik identitas dapat memecah belah masyarakat. Ini berlaku baik untuk warga maupun kader NU yang akan berkompetisi pada Pemilu 2024.

Gus Yahya mengatakan bahwa politik identitas adalah politik yang didasarkan pada dukungan identitas primordial atau dukungan yang paling rendah.

- Advertisement -

“Siapa pun. Walaupun orang NU, ndak boleh menggunakan identitas NU sebagai modal politik,” kata Gus Yahya di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Kamis, 25 Mei 2023.

Kader NU Ingin Maju Pemilu 2024 Harus Punya Kompetensi

Menurut Gus Yahya mengatakan bahwa kader NU yang ingin maju pada Pemlilihan Umum (Pemilu) 2024 harus memiliki kompetensi dan kredibilitas sendiri. Tak hanya itu, mereka juga harus memiliki gagasan yang ditawarkan untuk diadu dengan calon lain.

“Dia harus punya kredibilitas, harus punya prestasi sendiri. Dia harus punya tawarannya sendiri, bukan hanya sekedar mengandalkan asal NU saja,” lanjut Gus Yahya.

Capres dan Cawapres Tidak Ada Keterkaitan dengan NU

Bahkan Gus Yahya juga menegaskan bahwa tidak ada keterkaitan NU pada siapapun sosok yang maju sebagai capres ataupun cawapres 2024.

“Ya kita mana urusan apa kita harus merestui siapa saja. Memangnya kalau sampean nanya merestui Ganjar Pranowo, apakah saya harus jawab? Kan engga usah dijawab, bukan urusan kita,” ungkapnya.

Ia mengatakan siapa pun calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilu 2024, menurutnya bukanlah urusan NU.

“Apakah saya merestui Prabowo? Ya ndak akan saya jawab, wong bukan urusan kita. Wapresnya ini direstui ya ndak akan saya jawab, wong bukan urusan kita, silahkan masyarakat menilai sendiri ya,” jelas dia.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. Haedar mengatakan bahwa politik identitas menyentuh unsur suku, agama, ras dan antargolongan.

“Karena menyandarkan (pada SARA), maka sering terjadi politisasi sentimen atas nama agama suku golongan yang akhirnya membawa ke arah polarisasi,” kata Haedar.

Oleh karena itu, Haedar pun mengajak agar para politikus yang berkontestasi pada Pemilu 2024 nanti bisa mengedepankan politik yang objektif, rasional dan di dalam koridor demokrasi modern.

Leave a comment