Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan sistem pemilu tertutup mendapat sorotan dari berbagai tokoh, salah satunya adalah wakil presiden Ma’ruf Amin.
Wapres Ma’ruf Amin pun bersyukur MK menolak gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait sistem pemilu, sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.
“Kalau saya bersyukur tentu, sebab kita kan ingin tidak ada gejolak dalam menghadapi pemilu,” ujar Wapres di sela kunjungan kerja di Samarkand, Uzbekistan, Kamis, 15 Juni 2023 malam, dikuitp dari Antara.
Dampak Jika MK Kabulkan Sistem Pemilu Tertutup
Dalam kesempatan itu, Ma’ruf Amin jug menyampaikan apabila MK mengabulkan sistem pemilu tertutup, maka diperkirakan akan ada protes dan gejolak di masyarakat. Karena menurut Wapres masyarakat dan partai politik banyak yang menghendaki sistem pemilu tetap terbuka.
“Saya kira itu artinya (Putusan MK) tidak mengubah ya. Dan itu kan yang banyak saya baca di koran dikehendaki masyarakat dan juga partai-partai peserta pemilu juga ingin (sistem) terbuka. Dengan diputuskan begitu maka diperkirakan tidak ada reaksi, tidak ada gejolak. Kalau diputuskan yang lain mungkin akan ada protes, ada gejolak,” ungkap Wapres Ma’ruf Amin.
Keadaan Lebih Kondusif
Ma’ruf Amin menambahkan jika keputusan MK tersebut menambah keadaan yang lebih kondusif bagi bangsa dalam menghadapi Pemilu 2024.
MK Tolak Gugatan Sistem Pemilu Tertutup
Sebelumnya, Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan Para Pemohon pada sidang perkara gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.
“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat.
Dalam persidangan perkara nomor 114/PUU-XX/2022, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa para Pemohon mendalilkan penyelenggaraan pemilihan umum yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka telah mendistorsi peran partai politik.
Menurut Mahkamah, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, dalam batas penalaran yang wajar, dalil para Pemohon adalah sesuatu yang berlebihan.
“Karena, sampai sejauh ini, partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon,” tambah Saldi Isra.