Presiden Joko Widodo berharap agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang telah resmi disahkan dalam rapat paripurna DPR ke-29 dapat mengatasi kekurangan dokter dan spesialis di Indonesia.
Pasalnya DPR resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi Undang-undang (UU). Pengesahan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022-2023.
“Kita harapkan kekurangan dokter bisa lebih dipercepat, kekurangan spesialis bisa dipercepat, saya kira arahnya ke sana,” kata Presiden Jokowi di Sumedang usai meresmikan Jalan Tol Cisumdawu, Jawa Barat pada Selasa, 11 Juli 2023.
Perbaikan Informasi di Bidang Kesehatan
Bahkan Jokowi juga berharap UU Kesehatan setelah dievaluasi dan dikoreksi di DPR akan memperbaiki informasi di bisang pelayanan kesehatan.
“Bagus, UU Kesehatan kita harapkan setelah dievaluasi dan dikoreksi di DPR. Saya kira akan memperbaiki informasi di bidang pelayanan kesehatan kita,” tambah Presiden.
Dikutip dari Antara, sebelumnya bahwa RUU Kesehatan telah memicu pro-kontra dari berbagai pihak. Rapat paripurna untuk pengesahan RUU Kesehatan juga sempat dijadwalkan pada 20 Juni 2023 namun diundur karena belum melalui Rapat Pimpinan (Rapim) dan Badan Musyawarah (Bamus).
Pihak yang Kontra dengan RUU Kesehatan
Adapun sejumlah pihak yang kontra terhadap RUU Kesehatan adalah Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) yang mengajukan petisi kepada Presiden Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani pada Senin, 10 Juli 2023. Mereka meminta agar RUU Kesehatan ditunda pengesahannya.
Sejumlah masalah yang diidentifikasi FGBLP antara lain penyusunan RUU Kesehatan tidak secara memadai memenuhi asas krusial pembuatan UU yaitu keterbukaan/transparan, partisipatif, kejelasan landasan pembentukan (filosofis, sosiologis, dan yuridis) serta kejelasan rumusan.
Menurut FGBLP, saat ini tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan yang akan mencabut sembilan UU terkait kesehatan dan mengubah empat UU lainnya. Berbagai aturan dalam RUU Kesehatan justru berisiko memantik destabilitas sistem kesehatan.
Misalnya adalah dihapusnya “mandatory spending” yang tidak sesuai amanah Abuja Declaration WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) dan TAP MPR RI X/MPR/2021 yaitu menganjurkan minimal 20 persen dari APBN.