Payung hukum
Saat kali pertama lahir, dissenting opinion tidak mempunyai landasan yuridis formal karena praktik hakim yang berkembang. Pertama kalinya perbedaan pendapat memiliki landasan yuridis di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan sudah ada ada lima putusan pengadilan niaga yang memuat dissenting opinion.
Pengaturan dissenting opinion selanjutnya terdapat dalam 2 Undang-Undang bidang Kehakiman yaitu Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 19 ayat (4) dan ayat (5) mengatur tentang dissenting opinion yaitu pada Ayat (4).
Baca juga: Menunggu Putusan MK, Ganjar-Mahfud Ikuti Hasilnya
Dijelaskan bahwa di dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Pada ayat (5) dijelaskan, dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dissenting opinion diatur dalam ketentuan Pasal 30 ayat (3) dan (4) sebagai berikut:
Pasal 30 ayat (2) menggariskan, dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Pada ayat (3) ditambahkan bahwa dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.