Kilang Pertamina Siap Optimalisasi Dukungan Pengurangan Emisi Karbon melalui Pengembangan Green Refinery

By birdieni
5 Min Read
(Kiri-kanan) Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Arie Rachmadi; Direktur Utama KPI, Taufik Aditiyawarman dan Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Ahmudi Achyak. (Dok PT Kilang Pertamina Internasional)

KPI melakukan pengolahan bahan baku nabati

Saat ini, KPI mampu memproduksi biofuel melalui beberapa metode. Salah satunya melalui co-processing bahan baku nabati yang dicampur dengan conventional feedstock pada existing process. Proses ini dilalui untuk memproduksi Sustainable Aviation Fuel (SAF).

“Kami melakukan modifikasi unit THDT untuk coprocessing SAF di Kilang Cilacap dengan kapasitas 9 ribu bph,” ujar Taufik.

Dalam memproduksi biofuel, KPI juga melakukan pengolahan bahan baku nabati (CPO Based) dengan komposisi 100% yang seluruhnya menjadi feedstock (Refined Bleached Deodorized Palm Oil/ RBDPO). Ini dilakukan untuk memproduksi green diesel atau B100. “HVO dari kilang Cilacap merupakan konversi dari feedstock RDBPO, khususnya produk renewable diesel 100% atau B100 dengan kapasitas 3 ribu bph,” katanya.

- Advertisement -

Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Arie Rachmadi menjelaskan penggunaan biofuel adalah salah satu cara terbaik untuk bisa menekan emisi yang selama ini banyak dihasilkan oleh kendaraan. Indonesia berada di jalur yang tepat dengan keberhasilan program biodiesel, sejalan dengan tren global yang semakin mengarah pada penggunaan biofuel.

“Salah satu fokus yang harusnya bisa dikejar adalah penggunaan gasoline ramah lingkungan karena konsumsi terbesar ada di bensin gasoline,” kata Arie.

Baca juga: Tarif PPh Ditargetkan Turun di Era Prabowo-Gibran

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Ahmudi Achyak menjelaskan bahwa tantangan terbesar untuk bisa mendorong program biofuel selain pasokan bahan baku adalah harganya yang masih tinggi. Ini dinilai wajar karena energi baru terbarukan (EBT) masih dianggap energi mahal karena penggunaannya tidak sebanyak energi fosil.

Untuk itu, lanjut dia, penetrasi dan dukungan dari pemerintah menjadi krusial. “Harus ada kemauan baik dari pemerintah caranya dengan memberikan insentif untuk memastikan ketersediaan feedstock. Feed in tariff harus dikeluarkan,” ungkap Ali.

Leave a comment