Pelaku flexing biasanya ingin mendapatkan pengakuan dari publik ataupun pihak lain, bisa jadi juga untuk memperkuat pengakuannya. Tujuannya, dari pengakuannya itu pelaku bisa mendapatkan sesuatu yang lain, entah itu keuntungan, ketenaran, hingga proses peningkatan kepercayaan diri.
Lebih jauh lagi, relasi antara felxing dengan kekerasan memiliki hubungan yang sangat dekat. Apalagi sebuah studi yang diterbitkan jurnal Personality and Individual Differences menunjukkan bahwa seseorang yang gemar melakukan flexing, cenderung memiliki tingkat kecemasan sosial yang lebih tinggi.
Sementara dalam kajian psikologi klinis, flexing memiliki hubungan dengan rasa tidak aman (insecurity). Rasa tersebut menjadi dorongan memamerkan kelebihan dari orang-orang lain. Untuk itu, biasanya seseorang yang merasa tidak percaya diri, akan menunjukkan sesuatu yang dianggap berharga miliknya di hadapan orang-orang. Bahkan, sebuah penelitan menunjukkan, perilaku flexing justru membuat seseorang menjadi sulit bergaul dengan orang lain.
Studi yang lain juga menemukan bahwa seseorang yang sering melakukan flexing cenderung mengalami kesulitan dalam memempertahankan hubungan interpersonal yang sehat dan bahagia. Bahkan, Flexing bisa menjadi tanda gangguan mental seperti kecemasan, depresi dan gangguan kepribadian. Namun, perilaku flexing tersebut tidak selamanya menunjukkan masalah psikologis. Karena motivasi setiap orang berbeda-beda, atau bahkan hanya sekadar ingin mengapresiasi diri mereka sendiri atau orang yang mereka cintai.
Dari kajian tersebut flexing dan kekerasan fisik sebenarnya memiliki kaitan yang sangat erat jika flexing tersebut diindikasikan sebagai gangguan psikologis seseorang seperti kecemasan, depresi, dan gangguan kepribadian. Gangguan kecemasan, kekhawatiran jika dalam kondisi tertentu bisa menimbulkan perilaku yang emosional dan berakibat pada tindakan kekerasan pada orang lain.
–
Tulisan ini merupakan kiriman opini dari pembaca inversi.id. Bagi pembaca yang ingin mengirim tulisan ke inversi.id, silakan kirimkan tulisan melalui email: opinio@inversi.id. Segala isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis.