INVERSI.ID– Penyandang tunanetra di Indonesia mencapai 1,5% dari total populasi, sekitar 4 juta orang, tetapi hanya 1% dari penyandang disabilitas yang bekerja di sektor formal. Angka ini merujuk data Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) pada tahun 2023.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan peraturan turunannya menetapkan kuota penerimaan tenaga kerja sebesar 1% untuk perusahaan swasta dan 2% untuk instansi pemerintah. Namun, implementasi undang-undang ini belum berjalan efektif.
Melihat tantangan ini, sebuah penelitian kolaboratif antara Filipina, Indonesia, dan Vietnam dilakukan untuk memahami faktor-faktor yang berperan dalam kesuksesan tenaga kerja tunanetra yang telah bekerja di sektor formal.
Tujuan utamanya adalah untuk mengakselerasi faktor-faktor keberhasilan ini melalui program yang direkomendasikan berdasarkan hasil penelitian. Penelitian ini juga mengidentifikasi hambatan yang dihadapi dan memberikan rekomendasi untuk mengatasi hambatan tersebut.
Penelitian bertajuk “Faktor Kunci Kesuksesan Tunanetra Bekerja di Sektor Formal” ini melibatkan tiga lembaga yang bekerja mendampingi tunanetra, yakni Mitra Netra (Indonesia), Resources of the Blind (Filipina), dan Sao Mai Center (Vietnam). Penelitian ini didanai oleh The Nippon Foundation, yang berkomitmen untuk meningkatkan peluang kerja bagi penyandang tunanetra melalui penelitian berbasis bukti.
“The Nippon Foundation mendukung penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang menghambat penyandang disabilitas visual dalam mendapatkan kesempatan kerja,” kata Direktur Program The Nippon Foundation, Yosuke Ishikawa dalam konferensi pers pada Kamis (3/10).
Fakta dan Data Penelitian
Penelitian yang berlangsung selama enam bulan ini melibatkan 196 responden tunanetra dari tiga negara, dengan 73% responden sudah bekerja dan 27% masih mencari kerja atau pernah bekerja.
Lebih dari 90% tenaga kerja tunanetra yang diteliti berusia di bawah 45 tahun, dengan mayoritas (50%) berada di rentang usia 26–35 tahun. Profesi yang dijalani responden antara lain bidang pendidikan (28%), sosial (16%), administrasi (16%), pijat dan fisioterapi (15%), teknologi informasi (8%), dan keuangan (3%).
Faktor Penentu Kesuksesan
Penelitian ini menemukan bahwa pendidikan inklusi semakin baik, dengan 85% responden lulusan sarjana (S1), 13% bergelar Master, dan 2% Doktor.
Di Indonesia, 76% lulusan S1, 22% Master, dan 2% Doktor. Pendidikan yang lebih tinggi membantu tunanetra untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal, khususnya di bidang pendidikan yang menyerap 29% dari total tenaga kerja tunanetra yang sudah bekerja.
Namun, banyak tunanetra di Indonesia yang masih fokus pada sektor pendidikan, yang bisa disebabkan oleh keterbatasan akses informasi tentang peluang di sektor lain.
Bidang teknologi informasi dianggap memiliki potensi besar untuk penyerapan tenaga kerja tunanetra, terutama dengan perkembangan perangkat lunak yang mendukung aksesibilitas. Sebagian tunanetra yang bekerja di industri teknologi bahkan tidak memiliki latar belakang akademis di bidang tersebut tetapi tertarik menjadi programmer.