Hilirisasi garis keras
Berjalannya waktu, hilirisasi mineral telah berkembang pesat. Berawal dari keputusan pemerintah melakukan hilirisasi “garis keras” dengan cara melarang ekspor nikel mentah atau bijih nikel, hingga menderet ke berbagai komoditas tambang lain.
Misalnya saja, setelah nikel dan bauksit, ada lima komoditas tambang lain yang akan menyusul dihilirisasi tahun depan, yaitu tembaga, besi timbal, seng, dan lumpur anoda hasil pemurnian tembaga.
Beberapa hal tersebut menghasilkan investasi asing bernilai jumbo pun berduyun-duyun masuk. Pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) menjamur, terutama di daerah timur Indonesia yang memiliki pasokan mineral berlimpah.
Baca juga: Bahlil: Hilirisasi Jadi Jembatan Menuju Indonesia Emas 2045
Sampai 2024, pemerintah menargetkan 53 fasilitas smelter atau pabrik pengolahan mineral telah siap beroperasi, yakni 4 smelter tembaga, 30 smelter nikel, 11 smelter bauksit, 4 smelter besi, 2 smelter mangan, serta 2 smelter timbang dan seng.
Mari kita lihat dari salah satu sumber daya yang sudah lama dijaga dari ekspor, nikel. Menurut data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total sumber daya nikel sebesar 17,3 miliar ton dengan jumlah cadangan tercatat 5,08 milliar ton.
Sumber daya itu kemudian diolah di 44 pabrik smelter lewat proses pirometalurgi atau ke arah produk stainless steel, dengan produk akhir feronikel, nikel matte, dan nickel pig iron (NPI). Sebagian lagi diolah di 3 smelter hidrometalurgi atau ke arah baterai kendaraan listrik.
Pada 2022, smelter yang ada mampu memproduksi 106,3 juta ton bijih nikel, 516.700 ton fernikel, 76.00 ton nikel matte.