Koalisi besar yang menjadi wacana sejumlah partai politik menjelang Pemilu 2024, dinilai dapat berubah akibat adanya manuver dari PDIP.
Ungkapan itu, dikatakan oleh Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes.
Sebab, PDIP berada di luar dari koalisi besar yang menjadi wacana sejumlah partai politik jelang Pilpres 2024.
Wacana pembentukan sebuah koalisi besar untuk Pemilu 2024 oleh partai-partai anggota Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang muncul setelah momen silaturahmi para ketua umum Partai Gerindra, PKB, Golkar, PAN, dan PPP bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) di kantor DPP PAN, Jakarta, Minggu, 2 April 2023.
“Misalnya saja jika ada manuver-manuver politik yang dilakukan oleh PDIP, misalnya membangun komunikasi yang serius dengan salah satu atau dua partai dalam koalisi besar hingga akhirnya berkoalisi, pasti akan mempengaruhi koalisi besar,” kata Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes dalam sebuah keterangan, dilansir dari Antara, Kamis, 13 April 2023.
Magnet Jokowi
Selain itu, kata Arya, juga melihat keberadaan Presiden Jokowi sebagai sebuah magnet dari koalisi tersebut juga dapat menjadi penyebab kerentanan selanjutnya.
Selain magnet, Jokowi juga merupakan perekat serta jangkar koalisi yang akan mempengaruhi koalisi besar.
“Karena Pak Jokowi menjadi magnet pembentuk dan perekat serta jangkar koalisi, maka ketika interest beliau berubah dan ada pembicaraan yang serius dengan PDIP, maka hal itu akan mempengaruhi koalisi besar,” jelas Arya Fernandes.
Muncul usai Silaturahmi
Wacana koalisi besar itu, kata Arya Fernandes, muncul usai para ketua umum Partai Gerindra, PKB, Golkar, PAN, dan PPP mengadakan silaturahmi bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) di kantor DPP PAN, Jakarta, Minggu, 2 April 2023.
Oleh Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), wacana koalisi besar ini, untuk mengatasi kebuntuan antara KIB dan KIR.
Terlebih, untuk menentukan calon presiden dan wakil presiden.
“Problem atau kerumitan itu tampak dari tidak adanya kepastian soal siapa yang akan didukung baik oleh KIB maupun KKIR, tidak ada perkembangan yang signifikan dalam setahun terakhir, dan juga tidak ada mekanisme yang disepakati dalam penentuan capres-cawapres,” ujar Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) itu.
“Pak Jokowi menjadi jangkar karena beliau dianggap bisa mempertemukan kepentingan-kepentingan politik yang berbeda di antara partai politik tersebut,” ucap Arya sebagai penutup.