Hujan rintik mengiringi langkah Dina menuju halte bus sore itu. Ia baru saja selesai mengajar di sebuah sekolah dasar di pinggiran kota. Sambil menunggu bus, matanya tertuju pada seorang pemuda yang juga berteduh di halte. Pemuda itu tampak sibuk membaca buku.
“Permisi, boleh duduk di sebelah sini?” tanya Dina sopan.
Pemuda itu mengangkat wajahnya dan tersenyum ramah. “Tentu saja.”
Dari sampul bukunya, Dina bisa melihat judul ‘Filosofi Teras’. Kebetulan, itu adalah buku favoritnya.
“Anda suka filsafat Stoa juga?” tanya Dina memberanikan diri.
Mata pemuda itu berbinar. “Wah, Anda tahu tentang Stoisisme? Jarang sekali menemukan orang yang tertarik dengan topik ini.”
Percakapan mereka mengalir dengan natural. Dari filsafat, berlanjut ke hobi membaca, musik, hingga keseharian masing-masing. Ternyata pemuda bernama Rama itu adalah seorang dokter yang baru dipindahtugaskan ke rumah sakit dekat sekolah tempat Dina mengajar.
Bus yang ditunggu tak kunjung datang, tapi mereka tak keberatan. Hujan yang turun justru terasa seperti melodi pengiring obrolan hangat mereka.
“Besok… kita bisa bertemu lagi di sini?” tanya Rama ragu-ragu.
Dina tersenyum. “Sepertinya aku akan selalu pulang di jam yang sama.”
Sejak hari itu, halte bus sederhana itu menjadi saksi bisu dimulainya sebuah kisah cinta yang tumbuh perlahan namun pasti, ditemani rintik hujan dan buku-buku yang menjadi jembatan pertemuan mereka.