Hari-hari berlalu, dan pertemuan di halte bus menjadi rutinitas yang ditunggu-tunggu oleh keduanya. Setiap sore, mereka berbagi cerita tentang pengalaman mereka sepanjang hari – Dina dengan kisah-kisah lucunya mengajar anak-anak, dan Rama dengan pengalamannya menangani pasien.
Suatu sore, Rama tidak muncul di halte seperti biasanya. Dina menunggu dengan gelisah, matanya terus melirik jam tangan. Hujan turun lebih deras dari biasanya, tapi bukan itu yang membuat hatinya tidak tenang.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal:
“Dina, ini Rama. Maaf aku tidak bisa ke halte hari ini. Ada operasi mendadak. Tapi… bolehkah aku mengajakmu makan malam besok?”
Jantung Dina berdebar. Ini akan jadi pertemuan pertama mereka di luar halte bus yang sudah menjadi ‘tempat special’ mereka.
Keesokan malamnya, di sebuah kafe sederhana, Rama muncul dengan setelan rapi dan sebuket bunga mawar putih.
“Dina,” ucapnya dengan suara bergetar, “Mungkin ini terdengar terlalu cepat, tapi… sejak pertemuan pertama kita di halte itu, aku tahu kau berbeda. Setiap ceritamu tentang murid-muridmu membuatku semakin mengagumi ketulusan hatimu. Maukah… maukah kau menjadi pendamping hidupku?”
Air mata haru menggenang di pelupuk mata Dina. Siapa sangka, pertemuan tidak sengaja di halte bus bisa membawanya pada moment seindah ini.
“Ya, Rama. Aku mau,” jawabnya dengan senyum bahagia.
Setahun kemudian, mereka menikah dalam upacara sederhana. Dan sebagai kenang-kenangan, foto prewedding mereka diabadikan di halte bus tempat mereka pertama kali bertemu. Karena terkadang, cinta hadir dalam kesederhanaan, dalam moment-moment kecil yang tidak terduga, seperti menunggu bus di sore hari yang hujan.
Kini, setiap kali mereka melewati halte itu, senyum selalu tersungging di wajah keduanya. Halte sederhana itu telah menjadi saksi bisu bagaimana takdir mempertemukan dua hati yang ditakdirkan bersama.