INVERSI.ID – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengumumkan bahwa sistem evaluasi pembelajaran baru sebagai pengganti Asesmen Nasional akan mulai diberlakukan pada November 2025 untuk tingkat SMA sederajat. Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Toni Toharuddin, dalam konferensi pers di Kantor Kemendikdasmen pada Senin, 20 Januari 2025.
Menurut Toni, sistem ini akan diperluas ke tingkat SMP sederajat (kelas 9) dan SD (kelas 6) pada tahun 2026.
“Sistem evaluasi baru ini akan diterapkan pada sekolah atau madrasah yang telah terakreditasi,” ungkapnya.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, mengungkapkan bahwa konsep sistem evaluasi baru ini telah dirampungkan. Ia optimistis sistem tersebut dapat diumumkan dalam waktu dekat, bahkan sebelum Hari Raya Idul Fitri atau sekitar April 2025.
“Mudah-mudahan tidak perlu menunggu setelah Idul Fitri. Kajian sudah selesai, sistemnya juga telah ditetapkan. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk diumumkan,” ujar Abdul Mu’ti.
Mu’ti memberikan sedikit bocoran bahwa sistem baru ini akan menggantikan istilah “ujian” yang selama ini digunakan. Namun, ia belum mau membeberkan istilah pengganti tersebut.
“Kata ‘ujian’ tidak akan digunakan lagi. Apa istilah penggantinya? Tunggu saja sampai keputusan resmi diumumkan,” katanya.
Sistem evaluasi pembelajaran baru yang direncanakan untuk diterapkan pada tahun ajaran 2025/2026 akan memiliki perbedaan signifikan dibandingkan sistem sebelumnya, termasuk Asesmen Nasional.
“Kami akan memperkenalkan sistem yang benar-benar baru. Namun, detailnya akan kami umumkan pada waktunya,” jelas Abdul Mu’ti.
Sebagai informasi, Asesmen Nasional sendiri mulai menggantikan Ujian Nasional (UN) pada 2021, di masa kepemimpinan Nadiem Makarim sebagai Mendikbudristek. Sistem ini bertujuan mengevaluasi mutu pendidikan melalui tiga komponen utama: Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.
Abdul Mu’ti mengakui bahwa Asesmen Nasional belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan pihak-pihak tertentu, termasuk panitia seleksi masuk perguruan tinggi. Ia menjelaskan bahwa panitia seleksi menginginkan hasil evaluasi yang bersifat individual, sedangkan Asesmen Nasional hanya memberikan gambaran secara umum melalui metode sampling.
Selain itu, Mu’ti juga menyoroti penilaian oleh guru dalam rapor siswa. Ia menyebut bahwa penilaian rapor sering kali dipertanyakan objektivitasnya.
“Rapor memang penting, tetapi kadang menimbulkan masalah. Banyak yang mempertanyakan apakah nilai dalam rapor benar-benar mencerminkan kemampuan siswa atau hanya ‘sedekah nilai’ dari guru,” ujarnya.
Dengan adanya sistem evaluasi pembelajaran baru ini, diharapkan pendidikan di Indonesia dapat lebih sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Kemendikdasmen berkomitmen untuk terus meningkatkan mutu pendidikan dengan pendekatan yang lebih relevan dan inovatif.***