INVERSI.ID – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengumumkan bahwa Ujian Nasional (UN) akan kembali diberlakukan pada tahun ajaran 2026. Kebijakan ini menuai beragam tanggapan, termasuk dari Prof. Dr. Tuti Budirahayu, guru besar dan pakar sosiologi pendidikan Universitas Airlangga (Unair).
Menurut Prof. Tuti, sebelum kebijakan ini diterapkan, perlu ada kajian yang mendalam terkait urgensi kembalinya UN.
Prof. Tuti menekankan kajian ini harus mencakup wilayah yang luas di Indonesia dan juga tren hasil belajar siswa sejak 2021 hingga 2024, setelah UN dihapuskan.
Lebih lanjut, Prof. Tuti menilai bahwa model UN yang diterapkan sebelumnya memiliki banyak kelemahan. UN model lama dinilai lebih sering membawa tekanan daripada manfaat bagi siswa, guru, dan sekolah.
Menurutnya, UN lama lebih mengedepankan nilai rata-rata sebagai parameter keberhasilan, tanpa benar-benar menggali potensi siswa secara menyeluruh. Hal ini membuat siswa cenderung hanya fokus pada bimbingan belajar untuk menjawab soal ujian, tanpa didorong untuk berpikir kritis.
“Nilai ujian akhirnya bias dan subyektif. Parameter keberhasilan pendidikan adalah dengan nilai rata-rata UN yang tinggi,” jelas Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) itu dalam laman Unair Senin (6/1/2025).
Pendekatan seperti itu justru membuat siswa menjadi korban dari sistem pendidikan yang terlalu mengutamakan angka.
Ia juga menyebut UN lama sebagai bentuk “kekerasan simbolik” karena terlalu menstandarkan capaian siswa tanpa mempertimbangkan keberagaman kemampuan dan kebutuhan mereka.
“UN model lama bahkan hampir menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah,” ujarnya.
Terkait rencana pemberlakuan kembali UN, Prof. Tuti mengingatkan adanya tantangan besar, seperti ketimpangan kualitas pendidikan di berbagai daerah. Ia menekankan perlunya pendekatan baru yang lebih relevan dan adil.
Prof. Tuti menegaskan kembalinya UN harus dilakukan dengan cara yang berbeda. Jangan lagi pakai pola lama yang membuat siswa merasa tertekan.
Di sisi lain, Prof. Tuti berharap kebijakan ini didukung oleh persiapan matang dari semua pihak, mulai dari pemerintah, sekolah, guru, hingga orang tua. Selain itu, ia mengkritik seringnya perubahan kebijakan pendidikan yang terjadi setiap kali ada pergantian menteri, karena hal ini menghambat pembangunan sistem pendidikan yang kokoh.
“Kelemahan kebijakan pendidikan di Indonesia, tidak ada blueprint yang cukup baik dan berdurasi lama. Padahal secara historis, Indonesia memiliki pengalaman mengelola pendidikan yang sudah cukup baik,” jelasnya.***