INVERSI.ID – Polemik soal libur sekolah selama Ramadan terus jadi bahan diskusi hangat. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, mengungkapkan ada tiga opsi yang tengah dibahas yakni libur penuh, libur sebagian, atau tetap masuk seperti biasa.
Menanggapi hal ini, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) merekomendasikan agar kegiatan belajar-mengajar selama Ramadan tidak sepenuhnya diliburkan. Sebaliknya, pembelajaran bisa diatur dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan kreatif, misalnya melalui program-program Ramadan yang edukatif.
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, menekankan pentingnya pembelajaran tetap berjalan selama Ramadan agar siswa tidak ketinggalan materi. Menurutnya, libur penuh selama 3-4 minggu tanpa aktivitas akademik bisa berdampak pada pencapaian kompetensi siswa.
Sebagai alternatif, Satriwan mengusulkan konsep Pesantren Ramadan. Program ini bisa mengombinasikan pembelajaran akademik dengan kegiatan keagamaan. Sementara siswa nonmuslim dapat mengikuti program pendidikan karakter bersama guru agama masing-masing.
“Misalnya, ada Pesantren Ramadan untuk siswa muslim, dan siswa nonmuslim mengikuti kegiatan yang berfokus pada pendidikan karakter. Jadi, pembelajaran akademik tetap berjalan bersamaan dengan konten bernuansa spiritual,” jelasnya.
P2G juga merekomendasikan penyesuaian jam belajar selama Ramadan, seperti mempersingkat durasi pelajaran dari 45 menit menjadi 30-35 menit per sesi, mengubah jam masuk sekolah menjadi lebih siang, dan memulangkan siswa lebih awal.
Alternatif lainnya adalah menjalankan pembelajaran aktif hanya di awal Ramadan, sementara sisanya diisi dengan kegiatan tematik Ramadan.
Kekhawatiran Jika Libur Penuh Diterapkan
P2G menyoroti dampak negatif jika siswa sepenuhnya diliburkan selama Ramadan, terutama kurangnya pengawasan siswa oleh guru dan orang tua. Satriwan mengingatkan bahwa tidak semua orang tua punya waktu untuk memantau anak-anak mereka selama liburan, karena masih harus bekerja atau menjalani aktivitas lainnya.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Guru Belajar Foundation, Bukik Setiawan. Ia menyebut, libur panjang tanpa aktivitas bermakna bisa membuat siswa kurang produktif dan lebih banyak terpapar penggunaan teknologi digital tanpa kontrol.
Kondisi ini, menurutnya, juga bisa menambah beban orang tua yang harus mencari cara untuk mengisi waktu anak-anak mereka.
“Beri sekolah kebebasan untuk menyesuaikan jadwal sesuai kebutuhan murid dan kondisi daerah masing-masing. Misalnya, kurangi jam belajar dan tambahkan waktu untuk kegiatan yang lebih relevan selama Ramadan,” saran Bukik.
Daripada membuat kebijakan yang berlaku secara nasional, pemerintah disarankan untuk memberikan otonomi kepada sekolah dalam mengatur jadwal dan kegiatan selama Ramadan. Dengan begitu, setiap sekolah bisa menyesuaikan pendekatan mereka sesuai dengan kebutuhan siswa dan kapasitas mereka.
Melalui kombinasi antara pembelajaran akademik, kegiatan keagamaan, dan pendidikan karakter, siswa tetap bisa menjalani Ramadan dengan penuh makna tanpa harus mengorbankan capaian akademik. Fleksibilitas dan kerja sama antara sekolah, orang tua, dan pemerintah menjadi kunci untuk menjawab tantangan ini.***