Google Bard yang baru saja diluncurkan oleh Google, disebut sebagai pesaing ketat ChatGPT berbasis artificial intelligence atau AI yang lebih menguntungkan.
Sebab, ketimbang artificial intelligence atau AI Google Bard dapat menjawab pertanyaan yang diketik oleh pengguna dengan menggunakan Language Model for Dialogue Applications (LaMDA), merupakan sebuah model bahasa yang diciptakan Google untuk aplikasi dialog.
Keuntungan Google Bard
Menggunakan Language Model for Dialogue Applications (LaMDA), sebuah model bahasa yang diciptakan Google untuk aplikasi dialog, Google Bard disebut sangat menguntungkan, dengan hanya membutuhkan lebih sedikit daya komputasi untuk berikan sebuah jawaban kepada pengguna.
Google Bard Bisa Jawab Matematika
Google Bard yang merupakan kecerdasan buatan milik Google ini, mungkin akan sejajar dengan Bing Chat dan menjadi pesaing dari ChatGPT.
Gunakan LaMDA, Google Bard hanya memiliki kumpulan data yang kecil. Lalu, Google Bard juga menggunakan PaLM sebuah model bahasa Pathways, yang memungkinkan kecerdasan buatan dari Google ini dapat menjawab pertanyaan matematika.
Kehati-hatian Google
Luncurkan Google Bard, membuat Google sangat berhati-hati. Sebab, Google inginkan model yang lebih kompleks dengan benar.
Google Bard juga telah terintegrasi dengan produk Google lainnya. Seperti Gmail.
Kecerdasan buatan yang diluncurkan oleh Google pada awal Maret ke publik ini, dapat menulis di draft Gmail atas permintaan pengguna. Saat diminta.
Sayangnya, Google Bard tidak langsung ditanggapi oleh publik sebab masih kalah dengan ChatGPT.
Google Bard dan Google Search merupakan dua produk terpisah dari Google.
Pada Google Search yang berbasis Artificial intelligence atau AI. Google sendiri, ungkapkan hal tersebut dan juga umumkan sejumlah fitur baru dalam konferensi Google I/O 2023 di Amerika Serikat.
Artificial intelligence atau AI yang berpotensi hancurkan media online, disebut google sebagai perubahan paling radikal dalam dunia internet sejak Google Search beroperasi di awal tahun 2000-an.
Kemudian, masih soal artificial intelligence atau AI berpotensi hancurkan media online, bagaikan sebuah bom nuklir yang siap meledak. Padahal, industri media online juga tengah berjuang untuk bertahan hidup.