Sinetron ‘7 Manusia Harimau’ yang sempat ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta, ternyata terinspirasi dari karya sastra Motinggo Busye yang berjudul ‘7 Manusia Harimau’.
Meskipun demikian, sejarah sebenarnya dari legenda 7 Manusia Harimau telah ada sejak lama. Manusia Harimau dikenal sebagai sosok gaib yang dekat dengan kehidupan masyarakat adat di Bengkulu, sehingga hutan tempat tinggal mereka dianggap sebagai hutan larangan yang dilindungi.
Legenda Bukit Sarang Macan di Desa Ladang Palembang, Kabupaten Lebong, Bengkulu menjadi salah satu inspirasi dari novel tersebut, dan dalam bahasa Rejang, Bukit Sarang Macan disebut Tebo Sa’ang Imau, yang artinya harimau jelmaan atau tempat pertemuan reinkarnasi leluhur.
Baca juga: Kisah Mistis Alas Purwo dari Sosok Gaib Berwujud Cantik Hingga Kerajaan Jin Terbesar di Dunia
Bukit Sarang Macan juga menjadi sorotan dalam buku ‘The History of Sumatra’ karya William Marsden pada tahun 1784, yang mencatat tentang keberadaan makhluk gaib yang sering menjelma sebagai harimau dan memiliki istana serta tata pemerintahan sendiri.
Adat setempat meyakini bahwa membunuh manusia harimau akan mendatangkan bala yang lebih besar, sehingga mereka menjaga keberadaan hewan tersebut.
Bukit Sarang Macan kemudian dijadikan hutan larangan atau hutan lindung desa untuk memastikan keberlangsungan makhluk tersebut.
Peraturan Desa Nomor II Tentang Hutan Lindung Desa dan Hutan Adat Desa diterapkan untuk menyelaraskan antara hukum adat dengan hukum pemerintah, yang menegaskan bahwa tidak ada warga setempat yang berani membunuh harimau karena diyakini akan mendatangkan bala yang lebih besar, bahkan lebih berbahaya bagi manusia.
Manusia Harimau Sebagai Pelindung dan Pemberi Peringatan
Dalam sebuah cerita yang disampaikan oleh seorang tetua dari masyarakat adat Lebong bernama Abdul Muris, diceritakan bahwa harimau jelmaan seringkali akan menampakkan diri saat kondisi masyarakat sedang kurang baik atau dalam suasana yang tegang.
Mereka juga dikatakan akan menyerang hewan peliharaan dan memakannya sebagai peringatan bagi warga.
Abdul Muris menekankan bahwa harimau jelmaan tersebut bukanlah mahluk yang merugikan atau dianggap sebagai musuh. Sebaliknya, mereka dianggap sebagai pelindung dan pemberi peringatan jika ada warga yang melanggar adat atau berperilaku amoral.
Selain itu, kawasan hutan Bukit Sarang Macan, selain dikenal sebagai tempat bertemunya harimau, juga dipercaya sebagai tempat Harimau Sumatera mencari mangsa.
Hal ini membuat warga dan pemerintahan desa sepakat untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai hutan lindung desa, yang bebas dari aktivitas pengrusakan.
William Marsden juga pernah mengulas kepercayaan Rejang tentang harimau leluhur dalam bukunya yang berjudul ‘The History of Sumatra’ yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1784. Marsden menjelaskan bahwa harimau seringkali diyakini oleh masyarakat setempat dapat menjelma menjadi manusia.
Dalam bukunya, ia juga membeberkan bahwa harimau memiliki istana dan bentuk pemerintahan yang teratur dalam suatu tempat di negeri tersebut, sebagaimana yang diungkapkan oleh para warga setempat.
Melalui kepercayaan tentang harimau leluhur ini, serta kesadaran akan pentingnya pelestarian hutan dan Harimau Sumatera, warga dan pemerintahan desa setempat menyepakati dan menetapkan kawasan hutan Bukit Sarang Macan sebagai hutan lindung desa sekitar 14 tahun yang lalu.
Sebagai bentuk penegakan aturan, warga setempat melakukan sejumlah pertemuan, pemetaan, dan memasang patok batas di kawasan hutan sebelum membuat kesepakatan tertulis.
Hingga saat ini, kondisi hutan Bukit Sarang Macan tetap terjaga dan terlindungi. Warga setempat hanya diperbolehkan mengambil buah hutan, tanaman obat, dan madu tanpa merusak pohon-pohon di hutan tersebut.
Adanya aturan ini juga diikuti dengan adanya sanksi adat bagi siapa saja yang melanggar aturan tersebut, sebagai bentuk perlindungan terhadap lingkungan dan kelestariannya.***