INVERSI.ID – Setelah tertahan selama 17 tahun, naskah Pengepungan di Bukit Duri akhirnya diwujudkan ke layar lebar oleh Joko Anwar. Film ini bukan sekadar hiburan, melainkan refleksi brutal dari kegelisahan sosial dan politik Indonesia. Dengan gaya khasnya, Joko Anwar menyajikan dunia distopia yang terasa sangat dekat, nyaris menampar kenyataan yang sedang terjadi.
Cerita dibuka dengan latar Indonesia pada tahun 2027, masa depan yang hanya berjarak dua tahun dari sekarang. Namun, situasi negara dalam film digambarkan kacau balau akibat krisis sosial, rasial, dan pendidikan, yang akarnya berasal dari tragedi nasional 17 tahun silam. Sebuah trauma kolektif yang membentuk generasi baru dalam ketakutan dan amarah.
Melalui pendekatan naratif yang lugas dan intens, Joko Anwar tidak segan menggiring penonton menyelami dunia gelap itu lewat tokoh Edwin (Morgan Oey), seorang guru baru di SMA Duri. Sekolah ini menjadi tempat terakhir bagi murid-murid yang ditolak sistem, anak-anak penuh amarah dan dendam terhadap tatanan yang tak pernah adil.
Cerita berkembang menjadi semakin intens saat Edwin mengalami hari pertamanya di sekolah. Ketegangan memuncak saat ia dan beberapa tokoh lain, termasuk Diana (Hana Malasan), Kristo (Endy Arfian), dan Fatih Unru (Rangga), dikepung oleh sekelompok murid yang dipimpin Jefri (Omara Esteghlal). Konflik di sekolah ini kemudian menjelma menjadi drama psikologis penuh kekerasan, negosiasi, dan pertaruhan nyawa.
Gaya bertutur Joko Anwar yang memadukan thriller dengan kritik sosial kembali muncul dengan kuat. Film ini juga menggunakan format chamber drama, di mana hampir seluruh adegan berlangsung di ruang terbatas, sebuah SMA yang menjadi ladang pertempuran ideologi, trauma, dan kekuasaan.
Meski intensitas sempat menurun di bagian tengah akibat pengembangan konflik yang terlalu berlarut, film ini bangkit kembali dengan babak akhir yang solid. Joko Anwar berhasil menuntaskan ceritanya secara utuh, menjawab berbagai misteri yang dibangun sejak awal film.
Penampilan para aktor, terutama Morgan Oey dan Omara Esteghlal, menjadi daya tarik tersendiri. Morgan tampil memukau sebagai Edwin yang idealis sekaligus rapuh. Sementara Omara sukses menampilkan karakter Jefri yang kompleks, antagonis yang tak serta-merta bisa dibenci karena latar traumatis yang melatarinya.
Dengan semua elemen tersebut, Pengepungan di Bukit Duri tak hanya menambah daftar karya monumental Joko Anwar, tapi juga menjadi pengingat keras tentang pentingnya menyelesaikan luka sejarah bangsa.
Film ini seperti alarm sosial yang berbunyi nyaring, memperingatkan kita bahwa jika masalah mendasar tidak ditangani, sejarah kelam bisa terulang kembali.
Lebih dari sekadar tontonan, film ini adalah bahan diskusi yang panjang. Bahkan setelah layar bioskop gelap dan credits title selesai, gaung Pengepungan di Bukit Duri masih akan terus terdengar di forum diskusi, media sosial, hingga ruang-ruang kesadaran kolektif kita.***