INVERSI.ID – Solata menjadi salah satu film yang mengangkat realitas pendidikan di wilayah timur Indonesia. Film yang digarap oleh sutradara sekaligus produser Ichwan Persada ini sering dibandingkan dengan Laskar Pelangi, tetapi dalam versi Toraja.
Pemilihan judul Solata sendiri memiliki makna yang mendalam. Dalam bahasa Toraja, kata ini berarti “lebih dari sekadar teman” dan sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang dianggap sebagai keluarga.
Menurut Ichwan Persada, Solata terinspirasi dari kisah nyata. Dalam produksinya, ia menggandeng sejumlah aktor berbakat seperti Rendy Kjaernett, Rachel Natasya (eks JKT-48), Fhail Firmansyah, Iskandar Andi Patau, Harsya Soebandrio, Ayu Siramba, serta beberapa tokoh lainnya, termasuk Aty Kodong dan Muchlis Patahna yang merupakan Ketua Umum BPP Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan.
Kisah Perjuangan di Pedalaman Toraja
Film ini mengisahkan perjalanan Angkasa, seorang relawan asal Jakarta yang ditugaskan mengajar di daerah terpencil di Toraja. Setibanya di Desa Sandana, Kecamatan Bittuang, ia mendapati kondisi sekolah yang jauh dari layak. Ruang belajar hanya memiliki lantai tanah, atap bocor, serta dinding yang tidak utuh—lebih menyerupai kandang ternak dibandingkan tempat belajar.
“Film ini mengangkat tema keluarga dengan fokus pada persoalan pendidikan di daerah terpencil, khususnya di Toraja. Solata menyoroti perjuangan seorang guru relawan dalam menghadapi berbagai tantangan di sekolah pedalaman,” jelas Ichwan Persada saat berkunjung ke redaksi Sindonews, Rabu (26/2/2025).
Dalam cerita, Angkasa mengajar enam murid dengan nama-nama unik yang menyerupai nama presiden Indonesia.
“Kami menambahkan elemen humor dengan memberikan nama para murid seperti Karno, Harto, Bambang, Mega, dan Habi,” tambahnya.
Pemeran dan Tantangan Produksi
Untuk menghadirkan nuansa yang autentik, para pemeran anak-anak di film ini langsung dipilih dari masyarakat lokal di Toraja. Ichwan mengungkapkan bahwa pemilihan ini dilakukan karena bahasa Toraja memiliki logat khas yang sulit ditiru oleh orang luar.
“Saya langsung melakukan proses casting di Toraja agar karakter yang dimainkan terasa lebih alami,” ujarnya.
Menariknya, meskipun para aktor cilik ini baru pertama kali berakting, mereka mampu menjalankan peran dengan baik sesuai arahan. Sementara itu, pemilihan Rendy Kjaernett dan Rachel Natasya sebagai pemeran utama didasarkan pada kemampuan akting mereka yang telah teruji.
Proses produksi Solata sendiri dilakukan di Pegunungan Ollon, daerah terpencil yang sulit diakses. Para kru dan pemain harus menempuh perjalanan hampir tiga jam melewati medan berat dengan kondisi jalan yang rusak dan berbahaya. Bahkan, untuk mencapai lokasi, mereka terpaksa menggunakan truk sapi atau Makale.
Meskipun perjalanan menuju lokasi penuh tantangan, Ichwan menegaskan bahwa keindahan alam Toraja sebanding dengan segala perjuangan yang telah dilakukan.
“Begitu sampai di sana, semua kelelahan langsung terbayar. Setiap sudut pemandangan di sana luar biasa indah dan sangat mendukung visual dalam film ini,” katanya.
Solata, Kritik Terhadap Pendidikan di Daerah Terpencil
Ichwan menuturkan bahwa Solata tidak hanya menawarkan cerita inspiratif tetapi juga menyampaikan pesan kritis terhadap realitas pendidikan di Indonesia, khususnya di daerah terpencil.
“Film ini menjadi bentuk refleksi terhadap masih banyaknya ketimpangan dalam akses pendidikan, terutama di wilayah-wilayah pedalaman yang sering kali terabaikan,” tegasnya.
Melalui Solata, Ichwan berharap dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemerataan pendidikan serta menginspirasi berbagai pihak untuk lebih peduli terhadap kondisi sekolah-sekolah di pelosok negeri.***