Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang melarang kegiatan “study tour” di sekolah-sekolah se-Jawa Barat telah menimbulkan polemik di berbagai kalangan. Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk melindungi orang tua dari beban finansial yang berlebihan dan menjaga keselamatan siswa. Namun, kebijakan tersebut juga menuai kritik tajam dari para pelaku industri pariwisata yang merasa terancam mata pencahariannya.
Dedi Mulyadi menegaskan bahwa larangan ini bukan ditujukan untuk menghambat kegiatan perpisahan atau swafoto siswa, melainkan untuk mencegah pembebanan biaya yang tinggi kepada orang tua dan mengurangi risiko keselamatan selama perjalanan. Ia menyatakan bahwa banyak orang tua yang terpaksa berutang untuk membiayai kegiatan tersebut, yang pada akhirnya menurunkan kualitas hidup mereka.
Di sisi lain, Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) menyatakan keberatan terhadap kebijakan ini. Sekjen Asita, Budi Rianto, mengakui bahwa larangan “study tour” dapat memberatkan pelaku industri pariwisata yang selama ini mengandalkan kunjungan dari sekolah-sekolah. Ia berharap pemerintah dapat mempertimbangkan dampak ekonomi yang ditimbulkan dan mencari solusi yang tidak mematikan sektor pariwisata.
Dampak nyata dari kebijakan ini sudah mulai terasa. Di kawasan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, tercatat 18 pembatalan kunjungan wisata sekolah dalam bulan Februari 2025, dengan total sekitar 4.300 peserta. Hal ini menunjukkan betapa signifikan pengaruh larangan tersebut terhadap industri pariwisata lokal.
Menanggapi kritik yang dilontarkan oleh pengusaha travel, Dedi Mulyadi tidak bergeming. Ia justru berterima kasih atas masukan tersebut dan menekankan bahwa usaha travel seharusnya memiliki pasar yang lebih luas, tidak hanya bergantung pada sekolah sebagai klien utama. Dedi juga menyinggung bahwa ketergantungan pada sekolah menunjukkan kurangnya upaya pemasaran yang lebih kreatif dan luas dari para pelaku usaha travel.
Kontroversi ini memunculkan pertanyaan penting: bagaimana menyeimbangkan kepentingan pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat? Di satu sisi, kebijakan ini bertujuan mulia untuk melindungi orang tua dan siswa dari beban yang tidak perlu. Namun, di sisi lain, dampaknya terhadap industri pariwisata dan ekonomi lokal tidak bisa diabaikan. Diperlukan dialog konstruktif antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat untuk mencari solusi terbaik yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak.
Selain itu, penting untuk mengevaluasi kembali esensi dari “study tour” itu sendiri. Apakah kegiatan tersebut benar-benar memberikan nilai tambah bagi pendidikan siswa, ataukah justru menjadi ajang rekreasi semata yang membebani orang tua? Mungkin sudah saatnya untuk merancang ulang konsep “study tour” agar lebih edukatif, terjangkau, dan aman bagi semua pihak yang terlibat.
Pada akhirnya, kebijakan larangan “study tour” ini membuka mata kita semua bahwa diperlukan keseimbangan antara kebutuhan pendidikan, kemampuan ekonomi, dan keberlanjutan industri pariwisata. Semoga polemik ini dapat menjadi momentum untuk perbaikan sistem yang lebih holistik dan berpihak pada kepentingan bersama.