Angka Pengangguran Gen Z Tinggi, Salah Sistem, Skill, atau Ekspektasi?

Jack
By Jack

INVERSI.ID – Tingginya angka pengangguran di kalangan Generasi Z (Gen Z) menjadi tantangan besar di dunia ketenagakerjaan Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024, tercatat sekitar 9,89 juta penduduk usia 15–24 tahun tidak bekerja, atau 22,25% dari total penduduk di kelompok usia tersebut.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah tingginya pengangguran disebabkan oleh sistem pendidikan dan ketenagakerjaan yang belum mendukung, atau karena kurangnya kesiapan dan keterampilan individu?

Ketimpangan Antara Dunia Pendidikan dan Industri

Salah satu akar masalah yang sering disoroti adalah ketidaksesuaian antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan dunia kerja. Banyak program pendidikan tinggi masih berfokus pada teori, sementara industri menuntut keterampilan praktis yang bisa langsung diterapkan.

Hal ini ditegaskan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, yang menyebut bahwa sistem pendidikan Indonesia masih belum “link and match” dengan dunia industri. Banyak lulusan akhirnya merasa kebingungan ketika harus terjun langsung ke lapangan.

Persaingan Ketat dan Minimnya Lapangan Kerja Formal

Faktor lain yang memperburuk kondisi adalah menyempitnya lapangan kerja formal. Dalam kurun waktu 2019–2024, sektor ini hanya mampu menyerap sekitar 2 juta tenaga kerja, angka yang jauh lebih rendah dibanding periode sebelumnya.

Kondisi ini membuat para fresh graduate harus bersaing tidak hanya dengan sesama lulusan baru, tapi juga dengan pencari kerja yang sudah berpengalaman. Sementara itu, banyak perusahaan cenderung memilih kandidat yang “siap pakai”.

Upaya Pemerintah: Solusi Jangka Panjang atau Tambal Sulam?

Pemerintah sebenarnya telah merespons permasalahan ini dengan berbagai program, seperti Kartu Prakerja dan revitalisasi pendidikan vokasi melalui Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022. Tujuan utamanya adalah membekali generasi muda dengan keterampilan yang relevan dan dibutuhkan industri saat ini.

Namun, efektivitas program-program tersebut masih membutuhkan waktu untuk benar-benar terasa di lapangan, terutama jika tidak dibarengi dengan reformasi kurikulum pendidikan yang menyeluruh.

Standar Tinggi, Minim Persiapan: Realita Gen Z

Di sisi lain, tak bisa dimungkiri bahwa sebagian anak muda juga ikut berkontribusi dalam memperparah kondisi ini. Banyak dari Gen Z yang memiliki ekspektasi tinggi dalam mencari pekerjaan, mulai dari gaji besar, jam kerja fleksibel, hingga lingkungan kerja yang ideal.

Namun sayangnya, tidak semua dibekali pengalaman, portofolio, atau keterampilan yang sesuai. Tak jarang juga, pekerjaan yang dianggap “tidak sesuai passion” langsung ditolak, meskipun bisa menjadi batu loncatan penting.

Siapa yang Harus Berubah Lebih Dulu?

Jika ditanya siapa yang salah, jawabannya tidak sesederhana menunjuk satu pihak. Sistem pendidikan perlu berbenah, kurikulum perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri yang terus berkembang.

Namun, di saat yang sama, Gen Z juga perlu beradaptasi. Dunia kerja saat ini menuntut individu yang fleksibel, mau belajar, dan tidak gengsi memulai dari posisi bawah. Ini bukan hanya soal mencari kerja, tapi juga soal membangun ketangguhan dan semangat bertumbuh.

Kesimpulan: Bukan Salahkan Siapa, Tapi Siapa yang Mau Bergerak

Masalah pengangguran Gen Z tidak bisa diselesaikan dengan menyalahkan satu pihak saja. Kolaborasi antara dunia pendidikan, pemerintah, industri, dan individu menjadi kunci utama.

Gen Z dikenal sebagai generasi yang kreatif, digital savvy, dan cepat belajar. Dengan mindset yang terbuka dan kemauan untuk berkembang, tantangan pengangguran ini bisa berubah menjadi peluang.***

Share This Article
Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *