inversi.id – Yogyakarta, atau akrab disebut Jogja, dikenal sebagai kota yang kaya akan warisan budaya dan menjadi destinasi wisata populer. Namun, di balik pesona tersebut, terdapat dilema antara upaya pelestarian budaya dan eksplorasi pariwisata yang kian berkembang, terutama dengan hadirnya teknologi modern.
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara, putri Kraton Jogja, dalam seminar “Kolaborasi Budaya dan Teknologi dalam Tantangan Pengembangan Pariwisata” yang diselenggarakan Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) di Yogyakarta, mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan antara “budaya berwisata” dan “wisata berbasis budaya”. Generasi milenial dan Gen Z cenderung menjadikan wisata sebagai bagian dari gaya hidup mereka, namun kurang mendalami aspek budaya dalam perjalanan mereka.
Perdebatan antara praktisi budaya yang fokus pada pelestarian dan praktisi pariwisata yang berorientasi pada peningkatan ekonomi menjadi semakin nyata. GKR Bendara menekankan bahwa meskipun kedua perspektif ini valid, diperlukan keseimbangan agar keduanya dapat saling mendukung. Sebagai contoh, sebuah lukisan akan memiliki nilai lebih jika dipamerkan dan dikaji sejarahnya, sehingga menarik minat publik dan menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk pelestarian karya seni lainnya.
Namun, upaya memadukan budaya dengan teknologi tidak selalu berjalan mulus. Kraton Jogja pernah mengunggah video tarian sakral Bedhaya Semang ke YouTube dengan tujuan edukasi. Sayangnya, hal ini malah memicu penafsiran yang keliru, seperti penampilan tarian tersebut secara tidak tepat oleh siswa sekolah dasar. Akibatnya, Kraton memutuskan untuk menarik video tersebut demi menjaga kesakralan tarian.
Selain itu, tawaran untuk memfilmkan sejarah Kraton Jogja seringkali menghadapi tantangan dalam penyajian narasi yang utuh dan akurat. GKR Bendara mencontohkan perbedaan penafsiran mengenai penampilan Pangeran Diponegoro antara sumber-sumber populer dan manuskrip asli Kraton. Hal ini menunjukkan pentingnya keterlibatan langsung praktisi budaya dalam proses kreatif untuk memastikan keaslian dan penghormatan terhadap warisan budaya.
GKR Bendara menyimpulkan bahwa kunci utama adalah keseimbangan antara pelestarian budaya, pengembangan pariwisata, dan pemanfaatan teknologi. Budaya sakral sebaiknya dilestarikan oleh komunitas internal, sementara kearifan lokal yang bersifat pertunjukan dapat dipromosikan melalui teknologi dengan tetap menjaga nilai-nilai luhur. Kreativitas individu juga harus disertai penegasan bahwa karya tersebut merupakan interpretasi pribadi, bukan representasi resmi budaya, untuk menghindari kesalahpahaman.
“Tidak semua budaya adalah produk pariwisata, dan tidak semua pariwisata adalah produk budaya. Namun, tanpa pariwisata, pelestarian budaya tidak bisa maksimal,” ujar GKR Bendara. Oleh karena itu, eksplorasi dan promosi budaya serta kearifan lokal harus dilakukan dengan hati-hati, menjaga nilai sakral dan keagungannya.
Dilema ini mengingatkan kita akan pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak untuk memastikan bahwa perkembangan pariwisata tidak mengorbankan identitas budaya yang menjadi jiwa dari Jogja itu sendiri.