Mendikdasmen Berwacana Kembalikan Sistem Penjurusan di SMA, P2G: Anak Jadi Korban Eksperimen Kebijakan

Jack
By Jack

INVERSI.ID – Wacana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, untuk mengembalikan sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang SMA menuai kritik dari kalangan pemerhati pendidikan. Kebijakan ini dinilai tidak berkelanjutan dan berpotensi mengacaukan arah reformasi pendidikan nasional.

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menyatakan kebijakan yang berubah setiap kali terjadi pergantian menteri bisa menjadikan siswa sebagai korban eksperimen kebijakan yang tidak konsisten.

“Kalau kebijakan pendidikan hanya berdasarkan pendekatan masing-masing menteri, ini berbahaya. Seharusnya kebijakan merujuk pada dokumen negara seperti RPJPN, RPJMN, dan Peta Jalan Pendidikan Nasional 2025–2045,” ujar Satriwan, Sabtu (12/4).

Ancaman Ketidakpastian Pendidikan

Menurut Satriwan, perubahan sistem secara drastis dalam waktu singkat dapat merusak kesinambungan pendidikan. Ia menyoroti bahwa arah pendidikan yang berganti setiap lima tahun tidak mencerminkan keseriusan menuju Indonesia Emas 2045.

“Anak-anak jadi korban eksperimen kebijakan. Ini tidak adil dan berisiko besar untuk masa depan mereka,” tegasnya.

Kurikulum Merdeka Masih Bermasalah

Satriwan juga menilai penghapusan jurusan dalam Kurikulum Merdeka memiliki niat baik, yaitu memberi ruang eksplorasi minat dan bakat siswa. Namun, dalam praktiknya, banyak sekolah justru menyusun skema pembelajaran yang tetap mengarah pada model penjurusan tersembunyi.

“Banyak sekolah menyusun menu belajar dalam bentuk paket IPA, IPS, atau campuran. Secara substansi, ini tetap penjurusan, hanya dikemas berbeda,” jelasnya.

Karena itu, jika penjurusan hendak diberlakukan kembali, Satriwan menekankan pentingnya sosialisasi menyeluruh, terutama kepada siswa kelas 11 yang akan terdampak langsung oleh Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang dijadwalkan pada November 2025.

Polemik TKA sebagai Syarat Utama Seleksi

Kritik lain disampaikan P2G terkait rencana menjadikan TKA sebagai satu-satunya tolok ukur seleksi jalur prestasi masuk perguruan tinggi. Satriwan menilai langkah ini tidak adil dan berisiko mengabaikan usaha belajar siswa selama SMA.

“Kalau hanya TKA yang diperhitungkan, nilai rapor dan prestasi lain tidak akan dihargai. Ini bisa menghilangkan semangat belajar siswa sejak awal,” katanya.

P2G mengusulkan agar sistem seleksi jalur prestasi tetap mempertimbangkan empat indikator utama:

  1. Nilai rapor semester 1–5
  2. Prestasi akademik dan non-akademik (dengan sertifikat)
  3. Indeks sekolah (akreditasi, integritas, kinerja alumni)
  4. Nilai TKA sebagai pelengkap, bukan penentu utama

Jika TKA dijadikan satu-satunya acuan, lanjut Satriwan, ada risiko besar siswa kehilangan motivasi belajar setelah November 2025.

“Kalau rapor dianggap tak penting, anak kelas 11 hanya belajar serius sampai November. Setelah itu, bisa saja mereka jadi cuek,” ujarnya.

Perkuat Integritas, Bukan Seragamkan Sistem

Terkait tudingan “katrol nilai” oleh guru untuk membantu siswa lolos seleksi, P2G meminta pemerintah tidak menyamaratakan kesalahan segelintir oknum kepada seluruh guru. Solusi yang diusulkan adalah memperluas penggunaan e-Rapor dan memperkuat sistem pengawasan dengan sanksi tegas bagi sekolah yang melanggar.

“Jangan karena sebagian kecil guru curang, lalu semua nilai rapor dianggap tidak valid. Itu sama saja meruntuhkan kredibilitas guru-guru di seluruh Indonesia,” tegas Satriwan.

Ia menutup dengan mengingatkan bahwa pendidikan bukan hanya soal efisiensi atau sistem seleksi, melainkan soal membangun karakter, integritas, dan masa depan anak bangsa.***

Share This Article
Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *