Merasa Tertinggal dari Teman Seangkatan? Ini Cara Berdamai dengan Diri Sendiri

Jack
By Jack

INVERSI.ID – Scroll media sosial lalu melihat teman seangkatan sudah jadi manajer, menikah, punya mobil, atau keliling dunia, bisa dengan mudah memicu rasa tertinggal. Di tengah gempuran standar sosial dan pencapaian orang lain yang terus berseliweran, muncul pertanyaan diam-diam dalam hati “Aku ngapain aja, ya, selama ini?”

Perasaan tertinggal adalah hal yang manusiawi, apalagi di era digital seperti sekarang. Batas antara hidup pribadi dan pencapaian publik makin kabur.

Dalam satu genggaman, kita bisa membandingkan hidup dengan ratusan bahkan ribuan orang hanya lewat layar. Yang terlihat keberhasilan, senyum bahagia, dan pencapaian luar biasa. Yang tak terlihat perjuangan, tekanan, dan proses panjang di baliknya.

Sayangnya, perasaan ini sering datang diam-diam, membuat kita mempertanyakan nilai diri sendiri. Padahal, kehidupan bukan lomba lari estafet yang semua orang harus sampai di titik tertentu dalam waktu yang sama. Setiap orang punya lintasan hidup yang unik, dengan ritme yang berbeda.

Banyak anak muda, terutama generasi milenial akhir dan Gen Z, merasa seakan-akan mereka harus mengikuti timeline sosial yang tidak pernah mereka tetapkan sendiri. Lulus kuliah di usia tertentu, dapat kerja yang ‘keren’, menikah di umur tertentu, punya rumah sebelum usia 30, dan seterusnya. Standar-standar ini sering kali tidak realistis, apalagi di tengah tantangan ekonomi dan sosial yang semakin kompleks.

Namun, bukan berarti perasaan tertinggal harus dibiarkan tumbuh menjadi racun. Justru, ini bisa menjadi momen refleksi untuk mengenal diri sendiri lebih dalam. Apa sebenarnya yang kita kejar? Apakah itu benar-benar keinginan pribadi, atau hanya tuntutan untuk “terlihat berhasil”?

Berdamai dengan diri sendiri adalah langkah penting. Menghargai proses yang telah dilalui, sekecil apa pun, adalah bentuk keberhasilan yang sering luput disadari. Seseorang mungkin belum punya rumah, tapi berhasil menjaga kesehatan mentalnya. Mungkin belum menikah, tapi sudah banyak belajar mengenal diri sendiri dan orang lain.

Perjalanan hidup bukan soal cepat-cepatan sampai di garis akhir. Tapi soal bagaimana kita tumbuh, belajar, dan tetap waras dalam dunia yang tak pernah berhenti menuntut lebih.

Jadi, saat perasaan tertinggal kembali datang, cobalah tarik napas dalam-dalam dan tanya pada diri sendiri, “Apa yang sebenarnya aku butuhkan untuk merasa cukup?” Jawaban itu, sering kali bukan pencapaian orang lain, melainkan penerimaan terhadap proses diri sendiri.***

Share This Article
Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *