Pacaran di Usia Remaja Boleh Atau Tidak? Begini Kata Psikolog!

By Jack

INVERSI.ID – Di masa remaja, ketertarikan terhadap lawan jenis adalah hal yang wajar. Namun, banyak orang tua yang merasa khawatir jika anak mereka mulai menjalin hubungan asmara di usia ini. Meski demikian, realitasnya menunjukkan bahwa banyak remaja, terutama siswa SMP dan SMA, mulai menjalin hubungan romantis.

Lantas, bagaimana pandangan psikologi mengenai pacaran di usia remaja? Wahyu Bintari, S.Psi, M.Psi, seorang psikolog, mengungkapkan bahwa remaja sebaiknya tidak terburu-buru untuk berpacaran. Dalam berbagai kesempatan, terutama saat berbicara di sekolah-sekolah menengah, Wahyu selalu menyarankan agar remaja menunda hubungan asmara.

Menurutnya, usia remaja adalah fase di mana individu belum sepenuhnya siap menghadapi berbagai ketidakpastian dan kekecewaan yang mungkin muncul dalam sebuah hubungan.

“Banyak remaja memiliki ekspektasi bahwa pacaran akan selalu menyenangkan dan penuh kebahagiaan. Padahal, realitanya tidak selalu demikian,” jelas Wahyu.

Remaja dan Ketidaksiapan Menghadapi Kekecewaan

Saat menjalin hubungan, remaja cenderung memiliki ekspektasi tinggi terhadap pasangannya. Mereka mungkin menuntut respons cepat dalam komunikasi, merasa curiga berlebihan, atau mudah overthinking jika ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai harapan.

Masalahnya, di usia ini, mereka belum cukup matang untuk mengelola emosi dan menerima kenyataan bahwa tidak semua hal berjalan sesuai keinginan.

“Di usia remaja, pola pikir masih cenderung idealis. Mereka membayangkan hubungan yang sempurna tanpa memahami bahwa ada dinamika dan tantangan dalam setiap interaksi,” tambah Wahyu.

Tantangan Manajemen Waktu

Selain emosional, aspek lain yang perlu diperhatikan adalah kemampuan remaja dalam mengatur waktu. Bahkan tanpa menjalin hubungan asmara, banyak remaja sudah mengalami kesulitan dalam membagi waktu antara sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan penggunaan gadget.

Ketika pacaran masuk ke dalam keseharian mereka, fokus terhadap hal-hal yang lebih penting bisa terganggu. Alih-alih mengembangkan diri, sebagian besar waktu justru dihabiskan untuk mengejar kesenangan sesaat.

“Saat remaja mulai tertarik pada sesuatu, mereka cenderung mengeksplorasi hal tersebut sepenuhnya. Jika terlalu fokus pada pacaran, banyak potensi yang bisa tersia-siakan,” kata Wahyu.

Peran Orang Tua dalam Mendampingi Remaja

Meskipun secara psikologis pacaran di usia remaja tidak disarankan, kenyataannya banyak anak tetap melakukannya. Ada yang secara terbuka berbicara kepada orang tua, ada pula yang memilih hubungan diam-diam atau backstreet.

Menanggapi fenomena ini, Wahyu mengingatkan para orang tua untuk tidak bersikap terlalu keras dalam melarang anak-anak mereka berpacaran.

“Remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka berada dalam fase trial and error, di mana mereka mencoba sesuatu tanpa benar-benar tahu akibatnya. Jika terlalu dilarang, mereka justru bisa semakin penasaran,” ungkapnya.

Daripada bersikap frontal, orang tua sebaiknya lebih sering berdiskusi dan membangun kedekatan emosional dengan anak. Dengan cara ini, anak akan merasa nyaman untuk berbagi cerita dan orang tua pun bisa lebih mudah memantau serta memberikan arahan.

Selain itu, edukasi mengenai hubungan sehat dan seksualitas juga sangat penting. Orang tua perlu memberikan pemahaman tentang batasan-batasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis agar anak tidak terjebak dalam situasi yang merugikan.

Meskipun pacaran di usia remaja bukanlah sesuatu yang disarankan, bukan berarti hubungan sosial dengan lawan jenis harus sepenuhnya dilarang. Yang terpenting adalah bagaimana remaja memahami batasan, mengelola ekspektasi, serta tetap fokus pada pengembangan diri mereka.***

Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *