INVERSI.ID – Pernah nggak sih kamu nonton video di TikTok tentang tanda-tanda ADHD, depresi, atau gangguan kecemasan, lalu tiba-tiba mikir, “Eh, kok gue banget ya?” Fenomena seperti ini dikenal sebagai self-diagnose, yaitu ketika seseorang mencoba mendiagnosis kondisi psikologis atau fisiknya sendiri tanpa bantuan profesional.
Di tengah derasnya informasi yang berseliweran di media sosial, terutama TikTok, tren self-diagnose di kalangan Gen Z dan milenial makin marak. Tapi, pertanyaannya, apakah tren ini bermanfaat atau justru menyesatkan?
Self-Diagnose: Tren Baru di Era Digital
TikTok saat ini bukan cuma platform hiburan, tapi juga jadi ruang edukasi. Banyak kreator konten, termasuk yang berlatar belakang psikolog atau dokter, membagikan informasi soal kesehatan mental, ciri-ciri gangguan psikologis, hingga tips mengelola emosi.
Konten yang terkait dengan informasi kesehatan mental, sering kali relatable dan gampang dipahami. Tak heran kalau banyak orang merasa tercerahkan, bahkan menganggap dirinya punya gangguan mental tertentu hanya dari satu-dua video singkat.
Positifnya: Bangun Kesadaran dan Empati
Fenomena ini sebenarnya nggak sepenuhnya buruk. Ada sisi positif dari tren self-diagnose. Banyak orang yang sebelumnya nggak tahu soal anxiety atau ADHD jadi lebih melek informasi.
Kadang, konten di TikTok bisa jadi pemicu seseorang untuk menyadari ada yang nggak beres dengan dirinya dan memutuskan mencari bantuan profesional. Dengan banyaknya pembahasan soal mental health, makin banyak juga orang yang merasa tidak sendiri dalam perjuangan mereka.
Negatifnya: Bisa Menyesatkan dan Menambah Kecemasan
Sayangnya, ada juga sisi gelap dari tren ini, tidak semua kreator punya latar belakang profesional. Beberapa bahkan cuma mengandalkan pengalaman pribadi atau cuplikan dari Google.
Orang bisa jadi mengaitkan semua gejala yang ia rasakan dengan gangguan tertentu, padahal bisa jadi itu hal normal atau disebabkan faktor lain.
Self-diagnose yang keliru bisa membuat seseorang mengabaikan masalah yang sebenarnya lebih serius, atau malah “salah obat” jika langsung konsumsi suplemen/obat tertentu tanpa rekomendasi dokter.
Kata Psikolog: Penting Banget Konsultasi
Psikolog klinis anak dan remaja, A. Satya Ristya, mengatakan bahwa self-diagnose sebaiknya dijadikan langkah awal untuk refleksi diri, bukan untuk menyimpulkan sesuatu secara pasti.
“Kalau merasa relate dengan gejala yang disebut di media sosial, langkah selanjutnya adalah counseling atau konsultasi ke profesional, bukan langsung ngasih label ke diri sendiri,” ujarnya.
Self-diagnose di TikTok bisa jadi titik awal untuk mengenal diri, tapi bukan tempat untuk menghakimi diri sendiri. Media sosial memang bisa membantu, tapi bukan pengganti tenaga profesional.
Kalau kamu merasa sedang nggak baik-baik saja, ingat, minta bantuan bukan berarti lemah, tapi justru bentuk keberanian.***